Samar.ID – Sering kita mendengar pertanyaan seperti ini : apakah uang merupakan hakikat kebahagiaan? Banyak uang sama dengan bahagia? Menurut kalian bagaimana? Dalam filsafat pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan wilayah aksiologi yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang nilai. Dalam filsafat terdapat banyak isme yang membahas kebahagiaan, misalnya hedonisme dan eudemonisme.
Paham hedonisme memandang bahwa kesenangan itu merupakan sebuah kebaikan. Selama suatu perbuatan ia senangi maka tidak ada yang buruk. Biarpun ada orang lain yang tak senang akan perilakunya itu. Kata Bertens dalam hedonisme terkandung egoisme etis. Yaitu keegoisan yang ada di dalam diri tanpa memedulikan bagaimana dengan orang lain.
Dari kesenangan itulah muncul kebahagiaan atau memandang kesenangan itu sama dengan kebahagiaan itu sendiri. Padahal kesenangan (dalam konsep hedonisme) dan kebahagiaan itu berbeda. Kesenangan mereka adalah kebahagiaan semu. Misalnya dengan kasus penumpukan harta oleh kaum kapitalis. Keserakahan mereka dan sikap tidak mau berbagi bagi mereka itu nilainya baik. Itu merupakan perilaku yang tidak buruk bagi mereka. Oleh sebab itu, mereka merasa senang dan bahagia.
Sementara kalau melihat dari kacamata etis tentu sikap serakah dan tidak mau berbagi merupakan perbuatan yang tidak etis (imoral). Maka apakah dapat dikatakan kebahagiaan yang sejati ituberlandaskan pada sesuatu yang tidak etis (imoral)? Jelas tidak. Kebahagiaan pasti bersumber dari kebaikan. Dalam paham hedonisme, kesenangan cenderung disamakan dengan kebahagiaan. Sehingga kebahagiaan dalam paham hedonisme tidak bersifat universal atau menyeluruh.
Sementara itu kata Aristoles kebahagiaan itu adalah berkaitan dengan fungsi diciptakan dan tujuan akhir segala sesuatu. Sumber kebahagiaan adalah yang menjadi tujuan akhir. Paham ini dinamakan eudemonisme. Maka memiliki uang yang banyak sejatinya bukanlah kebahagiaan yang sesungguhnya, sebab uang tersebut akan dibelanjakan kembali untuk membeli barang atau kebutuhan lainnya.
Uang dalam hal ini bukanlah tujuan paling akhir. Sementara kebahagiaan haruslah tujuan terakhir. Cobalah tanya ke orang-orang yang banyak uang apakah mereka saat ini merasa bahagia dengan sebenar-benarnya bahagia? Apakah mereka sudah menemukan kebahagiaan yang hakiki? Kebahagiaan yang benar-benar menentramkan hati dan pikiran. Atau masih sempat merasa sedih dan bingung. Tak jarang kita lihat di televisi banyak orang kaya mati bunuh diri. Ini tandanya apa?
Kebagiaan menurut eudemonisme Aristoteles ialah ketika seseorang bisa menjalankan fungsinya dengan baik sesuai dengan tujuannya. Misalnya seorang penjahit. Penjahit yang baik tentunya mereka yang bisa menyelesaikan pekerjaannya hingga tuntas. Ada kebahagiaan setelah mereka berhasil menjahit sampai tuntas sesuai target. Sebab mereka menjalankan fungsi mereka dan tujuan yang ingin mereka capai dengan baik.
Maka apakah kebahagiaan sejati bagi manusia itu? Bila melihat sudut pandang agama, hakikatnya manusia itu tercipta untuk beribadah dan mengelola bumi ini dengan baik. Lalu apa tujuan terakhir setiap orang? Jelas tujuan akhir orang beribadah adalah Tuhan. Maka kebahagiaan akan didapatkan selama seseorang itu bisa menjalankan fungsinya untuk beribadah dengan baik dalam rangka menuju kepada tujuan yang akhir yaitu Tuhan. Maka saat itu akan muncul kebahagiaan yang sejati.
Sehingga, para sufi selalu mengatakan bahwa tujuan mereka beribadah ialah mencari keridaan Tuhan. Bukan mengharap surga atau nerakanya. Barangkali inilah yang sering mendapat tentangan. Sebab Tuhan adalah tujuan terakhir yang bisa menimbulkan kebahagiaan bagi hambanya. Maka dapat dimengerti ketika di surga nanti ternyata masih ada orang-orang yang merasa menyesal dan rugi. Mereka itu orang-orang yang tidak bisa melihat wajah Tuhannya setiap pagi. Merekapun belum cukup bahagia sebab tidak bisa bertemu Tuhannya.
Penulis : Rafi T. Haq (Bukan filsuf)