Gambar : kidrispdr.org

76 tahun kemerdekaan, bulat menjadi usia indonesia. Bukan usia yang muda lagi bagi sebuah negara. Hal tersebut patut kita syukuri dan banggakan, namun yang menjadi pertanyaan, benarkah kita sudah merdeka seutuhnya?

“Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjahahan diatas dunia harus dihapuskan”. Potongan kalimat yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itu yang selalu menjadi narasi perdamaian dunia. Namun secara substansi, kata “merdeka” (khususnya di Indonesia) masih jauh dari makna sesungguhnya.

Kemerdekaan dalam berekspresi contohnya, kasus bui dan lapor-melapor hanya karena perbedaan pendapat marak dalam tujuh tahun belakangan ini. Kesalahan menafsirkan UU ITE menjadi alasan untuk memenjarakan seseorang. Instansi yang seenaknya mengkriminalisasi warganya hanya karena “cuitan sepele”. Diskriminasi terhadap mahasiswa yang kritis. Apakah itu yang disebut sebagai kemerdekaan sebuah bangsa yang memiliki sistem “DEMOKRASI”?

Padahal, kebebasan berekspresi adalah amanat konstitusi baik pra maupun pasca reformasi. Dengan perkembangan teknologi, harusnya masyarakat bisa lebih bebas dan lebih bisa berpartisipasi lebih banyak dalam menyuarakan aspirasi. Media sosial yang harusnya menjadi wadah bagi warga yang ingin mengkritik orang yang telah “ia gaji” melalui pajak.

Namun pada faktanya, justru masyarakat kehilangan ketenangan dan keamanan dalam kehidupannya. Undang-undang hanya untuk membantu kepentingan para “elit politik”. Hukum hanya untuk melindungi para pemangku kekuasaan. Apakah itu yang disebut “merdeka”?

Negara Indonesia kini seakan-akan hanya dikuasai oleh segelintir orang-orang serakah yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya. Ujian Covid-19 tidak cukup untuk memberikan pelajaran bagi orang-orang serakah tersebut. Justru malah dimanfaatkan sebagai “ladang basah” kepentingan jual-beli tikus-tikus kotor negeri ini. “Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya” kalimat dulu yang masih relevan diucapkan hingga saat ini.

Jika Cina memiliki “Benteng” sebagai ikon negaranya, maka Indonesia memiliki “Banteng” yang menjadi ikon Indonesia saat ini.

Soekarno meninggalkan Bangsa Negara. Soeharto meninggalkan infrastruktur. Habiebie meninggalkan teknologi 4.0 . Gusdur meninggalkan kemajemukan. Megawati meninggalkan title Soekarnoisme. SBY meninggalkan demokrasi. Lalu jokowi, apa yang akan ditinggalkannya? Rasisme? Radikalisme? Terorisme? Nepotisme? Korupsi?

Komunikasi dan transparansi antara pemangku kekuasaan dengan warga masyarakat adalah salah satu kunci dalam memperbaiki kerusakan berdemokrasi di Indonesia saat ini. Pemerintah harus bisa mewadahi aspirasi, keritik, dan saran dari warganya.

Mereka di gaji oleh masyarakat bukan untuk membui warganya, tapi harus menjadi solusi bagi setiap permasalahan yang ada di masyarakat. Dari segi demokrasi, ekonomi, hingga pendidikan, itu yang menjadi titik fokus penyelesaian pemerintah saat ini, bukan mengurusi pemilu 2024.

Konsensus komunikasi dapat dicapai melalui tiga prasyarat politik koneksi demokratis seperti uraian Stephen Coleman, David E. Morrison dan Simeon Yates dalam The Mediation of Political Disconnection (2011). Pertama, perlunya menciptakan ruang publik yang terpercaya di mana keputusan pemerintah dapat dirumuskan, didiskusikan dan direvisi secara inklusif dan kolaboratif. Kedua, memperluas agenda politik sebagai cerminan nilai yang dibawa warga ke ruang publik. Ketiga, meminggirkan elitisme kebijakan dan mengundang partisipasi warga dalam arena deliberatif

Pada intinya adalah, kebebasan berekspresi adalah amanat konstitusi. Spirit pasca reformasi dengan menjungjung tinggi kebebasan berekspresi menjadi warisan kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan tertinggi bukan sekedar torehan proklamasi, namun kesempatan untuk memerdekakan diri sejak dalam pikiran kita sendiri.

Merdeka Indonesia!