Membaca judul diatas, sekilas membuat kita sedikit teringat dengan kata-kata yang pernah viral beberapa tahun lalu dari satu tokoh novel, Dilan. “Rindu itu berat, kamu gak akan kuat, biar aku saja.”, begitu kurang lebih kalimat yang diucapkan Dilan pada kekasihnya. Hebatnya, bukan hanya sang kekasih, namun para pembaca pun dibuat melting oleh kalimat tersebut, apalagi kaum hawa.
Tapi tahukah kita bahwa sebenarnya, kata-kata serupa pernah diucapkan oleh seorang tokoh nyata lebih dari seribu tahun yang lalu, dan bahkan bisa membuat kita jauh lebih melting lagi. Dan orang yang pertama kali mengucapkan hal serupa itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Nabi Muhammad saw.
Beliau memang terkenal sebagai seorang yang penuh dengan kasih sayang, baik ucapan maupun perbuatannya. Hal itu tentunya tak terlepas dari bagaimana beliau memulai perjalanan hidup. Sejak lahir ia sudah menjadi seorang anak yatim, karena ayah nya meninggal saat ia masih dalam kandungan. Lalu saat usianya masih sangat belia dan membutuhkan perhatian dari orang tua, ibu nya pun meninggal dunia. Akibatnya beliau sudah menjadi yatim piatu pada usia enam tahun, dan ia pun dirawat oleh kerabat-kerabat nya hingga ia memiliki cukup umur untuk bisa hidup tanpa bergantung pada orang lain. Hal itu sedikitnya, disamping kondisi kehidupan masyarakat Mekkah kala itu, membuat beliau menjadi orang yang lebih peka dan perasa terhadap kondisi orang lain atau umat. Bahkan kasih dan saying nabi ini disebutkan oleh Allah dalam Al-qur’an :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (surah At-taubah ayat 128)
Bicara soal kasih sayang, tentunya kita takkan bisa jauh-jauh dari kata cinta (sejujurnya kalau saya ditanya apa bedanya cinta dan kasih sayang, saya hanya akan menggelengkan kepala).
Kalau soal cinta, ada orang yang bisa mencintai orang lain hanya karena memandang saja, atau biasa kita sebut cinta pada pandangan pertama. Namun ada juga orang yang jika mencintai orang lain, ia harus melewati waktu yang sangat lama dan mengetahui banyak hal tentang orang itu, dan barulah ia bisa mulai mencintai nya.
Sekilas keduanya memang terlihat berbeda 180 derajat. Tapi keduanya memiliki kesamaan, keduanya terbatas oleh wujud yang ada. Jika ada cinta yang lebih tinggi dari itu, ialah cinta terhadap sesuatu yang belum ada dan kita belum tau sesuatu pun tentang nya. Tapi apakah cinta semacam itu mungkin? Bagi kita sepertinya itu tidak mungkin, namun bagi Nabi itu adalah cinta kasih yang sangat nyata.
Dalam hadis Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : “Sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara ku.” Para Sahabat bertanya, Tidakkah kami semua saudara-saudaramu wahai Rasulullah? Beliau menjawab : “Kamu semua adalah sahabatku, sedangkan saudara-saudara ku ialah mereka yang belum berwujud”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Saudara-saudara ku adalah mereka yang hidup sepeninggalku, mereka tidak pernah berjumpa ataupun melihatku, namun mereka begitu cinta pada ku, dan aku pun cinta pada mereka dan sangat merindukan pertemuan dengan mereka” Dari hadis ini, kita bisa melihat betapa besarnya cinta dan kasih sayang Beliau pada ummatnya, sekalipun ia tidak akan berjumpa dengan mereka di dunia. Bahkan hingga di akhir hayat nya pun yang ia pikirkan hanyalah ummatnya.
Sebagaimana kita ketahui beliau wafat pada usia 63 tahun, setelah selesai mengemban tugas dakwah nya. Berbeda dengan kita, Rasul dapat mengetahui tanda-tanda kapan ia akan meninggal dunia, bahkan ia tahu saat malaikan Izrail datang dari pintu depan rumah nya untuk mencabut nyawa beliau.
Dalam sebuah riwayat disebutkan Rasul memerintahkan Aisyah ra. untuk membukakan pintu karena ada orang yang hendak masuk menemui beliau, yang tak lain adalah malaikat Izrail. Namun Aisyah ra. tak tahu dan tak dapat melihat bahwa yang datang ialah malaikat pencabut nyawa.
Disebutkan bahwa saat menemui Rasul, Izrail terus memalingkan wajahnya, Rasul pun bertanya “apakah kamu tidak sudi melihat wajahku dalam kondisi ini wahai Izrail?” ia pun menjawab “Aku hanya tak tega melihat wajahmu yang sangat mengkhawatirkan di akhir hayatmu itu, jika kamu mau aku bisa memohon kepada Allah untuk menagguhkan kematianmu”. Mendengar ucapan malaikat Izrail itu Rasul menolak dengan alasan ia ingin segera bertemu dengan Allah dan tak ingin ada yang menghalangi nya dari pertemuan itu.
Tak lama kemudian mulailah proses pencabutan nyawa Nabi Muhammad saw. oleh Malaikat maut secara perlahan, sakitnya proses pencabutan nyawa itu membuat Nabi merintih dan bertanya kepada malaikat, apakah seperti ini rasa sakit nya sakratul maut? maka perlembutlah. Malaikat pun menjawab bahwa ia tidak pernah mencabut nyawa seorang pun selembut dan sepelan pencabutan nyawa beliau.
Mendengar ucapan malaikat tadi, Rasul pun kaget dan malah meminta hal yang sebaliknya. Disebutkan Rasul bersabda “Jika ini merupakan selembut-lembut nya sakratul maut, maka aku tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya sakratul maut ummatku yang banyak berdosa. Sungguh sakratul maut ini sangat menyakitkan, ummatku takkan sanggup menghadapinya, limpahkan saja padaku rasa sakit sakratul maut ummatku.”
Mendengar perkataan beliau, Malaikat Izrail pun tak punya pilihan selain mengiyakannya. Tak hanya situ, sebelum nyawanya selesai diangkat, ia pun meminta ampuna sebesar-besarnya kepada Allah. Bukan untuk diri nabi sendiri ataupun keluarganya, melainkan memohonkan ampunan bagi ummatnya. Begitu besarnya kasih sayang Nabi, bahkan di akhir nafas nya pun tidak ada hal lain yang ia lakukan selain berkorban untuk ummatnya.
Oleh : Si Kerang Ajaib (Muhammad Rifki)