Kita sering terjebak pada dongeng masa kecil tentang si Kancil mencuri timun di ladang. Dulu yang kita dapat dari dongeng itu adalah bahwa kancil sangat cerdik, karena berhasil mencuri dan bisa menipu petani, sehingga masih banyak di antara kita yang mengartikan cerdik dalam konotasi yang buruk, bahwa cerdik dari dongeng si kancil diartikan sebagai menipu.

Padahal, cerdik bisa bermakna seseorang yang selalu berpikir untuk masa depannya yang lebih baik, terutama masa depan dalam kehidupan akhirat. Ia tidak menghendaki di dalam kehidupan akhirat mendapatkan kesengsaraan dan kehinaan, karena kehidupan akhirat adalah kehidupan abadi dan selama-lamanya,  sedangkan kehidupan dunia hanyalah sementara.

Orang yang cerdik adalah orang yang selalu menggunakan segala nikmat Allah Swt untuk kehidupan akhiratnya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw “Orang yang cerdik adalah orang yang menahan dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya, tetapi ia mengharapkan berbagai harapan kepada Allah Swt” (HR. Tirmidzi).

Bedasarkan hadits tersebut, seorang mukmin yang cerdik adalah orang tidak selalu disibukkan oleh urusan dunianya, tetapi lebih berorientasi pada urusan akhiratnya. Segala urusan dunia selalu berdampak pada urusan akhiratnya, sehingga seluruh sikapnya dijaga, dikontrol, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sikapnya tidak ada yang bertentangan dengan kehendak Allah Swt, terlebih melanggar aturan-Nya. Karena ia yakin kebaikan yang dilakukan di dunia adalah kebaikan untuk akhiratnya. Orang yang cerdik juga adalah orang yang selalu mengontrol nafsunya, mengendalikan, dan mengarahkan kearah yang positif.

Ciri orang yang seperti ini adalah orang yang tidak terjerat dengan kenikmatan duniawi. Meskipun ia dipercaya untuk menduduki suatu jabatan, ia melaksanakannya dengan sangat amanah, karena ia yakin bahwa jabatan itu tidak akan membuatnya kekal didalam kehidupan dunia. Orang yang seperti ini juga adalah orang yang lebih mengutamakan ilmu daripada harta.

Jawaban Ali bin Abi Thalib atas pertanyaan manakah yang lebih utama, ilmu atau harta? Orang-orang tersebut bertanya dengan pertanyaan yang sama, dan dijawab dengan jawaban yang berbeda-beda, namun memiliki inti yang sama bahwa ilmu lebih berharga daripada harta, di antara jawaban Imam Ali adalah; “ Ilmu merupakan warisan para Nabi, sedangkan harta adalah warisan Qarun hingga Fir’aun.

Ilmu lebih utama dari harta karena ilmu akan menjaga dan melindungi, sementara harta justru kamu yang menjaganya. Ilmu lebih berharga karena pemilik harta memiliki banyak musuh, sementara pemilik ilmu mempunyai banyak teman. Ilmu lebih utama daripada harta karena jika harta dibelanjakan, maka akan bekurang, sedangkan ilmu akan semakin bertambah. Harta akan rusak seiring perjalanan waktu, sementara ilmu tidak akan rusak dan binasa. Harta bisa membuat hati keras dan membatu, sementara ilmu bisa sebagai pelita cahaya hati.

Menjadi orang berilmu sangat penting, terlebih jika dengan ilmu itu kita mampu menjalankan segala ketentuan Allah, dari berkata dan bertindak.  Ilmu mampu menjadikan seseorang sebagai manusia cerdik yang memprioritaskan kebahagiaan kekal di akhirat kelak, daripada sibuk mengejar kebahagiaan yang fana di dunia.

Oleh : Muhammad Rijali

Editor : Aziz dan Rafi