Keran kebebasan terbuka lebar pasca lahirnya reformasi. Bersamaan dengan itu, mengalir deras dari keran tersebut berbagai diskursus yang selama masa orde baru (orba) terkubur dalam-dalam, begitupun dengan wacana dan diskursus keislaman yang kini kian marak di dunia pemikiran. Kemudian, muncul apa yang dinamakan oleh sebagian pemikir islam sebagai “islam sempalan” yang merupakan bagian kecil dari mainstream paham keagamaan yang banyak dianut muslim Indonesia. Orientasi paham islam tersebut ada yang progresif, politis, ektremis, revivalis dan radikalis.

Nomenklatur terhadap kata islam pun bermunculan seperti islam liberal, islam politik, revivalisme islam dan fundamentalisme islam. Masing-masing kelompok islam tersebut menawarkan paham keislaman yang menurutnya benar berdasarkan pemahaman kelompoknya masing-masing. Yang memakai nama agama untuk kepentingan aspirasi politiknya kemudian disebut islam politik, yang menawarkan pembongkaran ulang terhadap konsep-konsep keislaman sebelumnya dijuluki islam liberal, yang ingin paham dan praktek keislaman persis seutuhnya seperti zaman Nabi namanya islam revivalis. Adapun yang orientasi paham dan gerakannya ke arah kekerasan disebut islam radikal atau fundamentalisme islam.

Paham keislaman yang kini menyeruak ke tengah publik tak lepas dari kelompok-kelompok islam tersebut. Walau termasuk kelompok minoritas, paham keislaman yang ditawarkan kelompok sempalan tersebut semakin lama semakin menggerogoti paham arus utama islam Indonesia seperti paham keislaman Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Salah satunya yaitu paham tentang haramnya berpacaran yang getol digembor-gemborkan oleh sebagian kalangan “islam sempalan” di atas. Padahal, selama ini kelompok arus utama paham keislaman seperti NU dan Muhammadiyah belum menyatakan fatwa atau rumusan resmi yang mengharamkan tentang pacaran.

Baik di lembaga Batsul Masa’il PBNU atau Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah belum ada rumusan resmi yang mengharamkan pacaran. Karena definisi pacaran sendiri tidak rigid dan mutlak, melainkan relatif dan multipersfektif. Sementara itu, kedua lembaga fatwa tersebut terdiri dari ulama-ulama yang mumpuni dan kompeten dalam menjawab masalah-masalah keislaman. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa ada kelompok yang mengharamkan pacaran dari satu sudut pandang saja, padahal paham keislaman kedua aliran keislaman yang besar saja tidak gegabah menghukumi pacaran?

Selain wacana tentang pacaran, di antara kelompok islam tersebut juga bergulir wacana lain seperti haramnya demokrasi, penggantian dasar negara, haramnya pendidikan model barat, haramnya berinteraksi dengan dunia Barat dan yang lainnya. Padahal dalam kehidupan sehari-hari sendiri kelompok tersebut cenderung bersikap “paradoksial” serta serba tidak konsisten. Misalnya, mengharamkan Pancasila dan ingin menggantikannya dengan khilafah, padahal sehari-hari banyak kebutuhan pokok yang disubsidi oleh negara seperti listrik, BBM, makanan pokok dan lain-lain. Itu secara moral menunjukkan orang yang tidak tahu caranya berterima kasih dan bersyukur hidup di negeri damai nan indah seperti Indonesia.

Kembali ke masalah pacaran, akibat hegemoni kalangan islam sempalan tersebut narasi pacaran selalu diidentikkan dengan dosa dan maksiat semata. Karena orientasi kelompok islam tersebut menurut beberapa cendekiawan muslim selalu memposisikan sesuatu pada posisi yang saling berlawanan seperti salah-benar, halal-haram, kafir-beriman atau dosa-pahala. Selain itu, mudahnya melempar hukum jadi ciri khas yang tidak bisa dihilangkan dari kelompok ini.

Dalam artikel “Redistorsi Problematisnya Istilah Pacaran” yang telah penulis sajikan sebelumnya, sudah dijelaskan secara panjang lebar tentang haram dan tidaknya pacaran. Intinya, label haram yang dijatuhi oleh kelompok islam sempalan tersebut selalu dihubung-hubungkan dengan “pekerjaan” orang yang berpacaran. Misalnya ciuman, pegangan tangan, jalan-jalan ke mal, berduaan atau saling merangkul dan berpelukan. Sampai di sini sebetulnya argumen tersebut bisa diuji dengan pertanyaan “bagaimana jika pacaran tidak dilakukan dengan semua pekerjaan itu?”. Dalam filsafat, ini disebut wilayah epistemologi, yaitu suatu wilayah kajian yang menyangkut perbuatan atau cara seseorang bertingkah dan berprilaku.

Secara literer, kata pacaran adalah suatu istilah untuk menunjuk pada perasaan yang saling mencintai dan mengasihi. Sampai di sini muncul lagi pertanyaan “apakah mencintai dan mengasihi adalah sesuatu yang diharamkan?” padahal islam sendiri adalah agama cinta dan kasih, kan? Berdasarkan penuturan di atas, secara makna asal pacaran itu tidak ada yang salah, akan tetapi menyangkut “pekerjaan” perlu diperhatikan agar tidak menjurus pada perbuatan-perbuatan zina. Memangnya ada “perbuatan” pacaran yang tidak merupakan “perbuatan” sebagaimana yang telah dikatakan di atas? Ada.

Jika pacaran kemudian dikategorikan sebagai hubungan yang menyangkut sesama manusia, maka kiranya sudah jelas bahwa kaidah ushul fiqihnya adalah “al ashlu fil asya’i al-ibaahah, hatta yadullu dalilu ala tasrimihi” pada dasarnya segala sesuatu yang menyangkut hubungan sesama manusia hukumnya diperbolehkan, sehingga ada dalil yang melarangnya. Lah kok, pacaran kan ada dalilnya yang artinya “Janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan” (Qs. 17: 32). Benar, jika pacaran itu berisi “perbuatan” yang mendekati zina seperti berciuman atau berduaan. Jika tidak bagaimana?

Oleh karena itu, definisi pacaran yang secara ontologi adalah rasa kasih dan sayang tiba-tiba kok jadi haram, gimana awalnya bisa jadi begitu? Sehingga, yang jadi problem disini adalah bagaimana “perbuatan” pacaran itu dilakukan, sebagaimana yang sering diharamkan oleh sebagian kelompok islam sempalan tersebut. Yang dilarang dan haram itu adalah perzinaan, selama unsur-unsur pacaran tidak bermuatan perzinaan, malahan pacaran itu dilakukan dalam suasana khitbah , tidaklah kemudian hal tersebut menjadi haram.

Akhirnya, hegemoni argumentasi pacaran oleh beberapa kalangan islam sempalan , yang menyatakan pacaran itu haram pun harus disesuaikan dengan konteks dan bukan dilihat dari teks semata. Betapa rigidnya agama islam bila wacana keislaman tidak ditempatkan dengan adil dan tepat. Terutama apabila dihegemoni oleh mereka yang padahal secara paham keislaman merupakan kelompok minoritas yang baru saja tumbuh. Di sini juga perlu ditegaskan bahwa budaya pacaran yang diproduksi di masing-masing tempat di belahan bumi itu berbeda-beda. Oleh karena itu, pacaran baik definisi, praktek dan hukumnya tidak selalu sama.