Telah menjadi hal yang wajar jika sebuah kesepakatan yang dibuat dan disetujui bersama kemudian di rusak dengan sewenang-wenang. Jika kita tarik kepada sejarah dasar negara Indonesia. Kita akan temui sebuah Gentlemen’s Agreement yang kemudian dinamakan sebagai Pancasila. Sebuah Gentlement’s Agreement sebagaimana kita ketahui adalah sebuah kesepakatan antar para pria dimana jika kita menggunakan sudut pandang Islam. Pria atau laki-laki merupakan entitas yang memiliki beban kepemimpinan, karenanya bisa dikatakan kesepakatan tersebut adalah kesepekatan yang melibatkan suara pemimpin dalam sebuah peradaban.
Sejarah dasar negara kembali menjadi perbincangan setelah wakil rakyat kita di DPR sedang merancang sebuah Undang-Undang (UU) yang secara umum tidak layak untuk dibahas di masa sulit ini. Wakil rakyat yang seharusnya mewakili keluh kesah rakyat akan dampak pandemi, saat ini malah membuat rakyat semakin dibebankan dengan wacana yang menggerus semangat kerukunan. Apakah saat wacana tersebut dirembugkan para wakil rakyat tidak memikirkan efek buruk setelahnya? Apakah para wakil rakyat tidak memiliki kepekaan bahwa apa yang meraka bahas adalah masalah yang sensitif?
Penulis ber-husnudzan rata-rata wakil rakyat yang ada di Jakarta tersebut tidaklah buta sejarah. Sejarah bangsa ini pernah masuk pada masa diskusi kesepakatan dasar negara. Bangsa yang baru bangkit setelah terjajah oleh bangsa lain ketika itu, pernah menjalani diskusi panjang yang menguras tenaga dan fikiran. Kesepakatan yang akhirnya berbuah Pancasila tersebut memaksa sebagian golongan untuk mengalah terhadap arah ideologinya masing-masing.
Jikalau ada Kaum Sekularis hadir di forum tersebut mereka tidak akan senang karena hasilnya identik bau-bau agama. Kaum Islamis yang hadir di forum tersebut pun tidak jauh dari apa yang dirasakan kaum Sekularis, sebab Islam yang seharusnya termaktub dalam dasar negara ternyata tidak jadi dipilih. Hampir seluruh elemen rela tergerus ide-idenya demi kemaslahatan bersama. Semua pasti merasakan kecewa, tetapi kekecewaan tersebut berbuah sebuah kesatuan bangsa lintas suku, budaya maupun agama. Tidak banyak sebuah negara yang dapat bersatu seperti halnya negeri ini. Dimana entitas mayoritas merelakan identitasnya tidak tertuliskan dalam dasar negara secara jelas, inilah yang menjadi keunikan dari negeri ini.
Pancasila sebagai dasar negara yang menjadi penyatu antar berbagai golongan bangsa dalam sejarahnya sebenarnya tidaklah sekali jadi dalam pembuatannya. Proses panjang Pancasila memakan waktu dan pikiran dari berbagai elemen penting bangsa. Dari mulai golongan Islamis yang ingin memperjuangkan dasar Islam dalam negara hingga golongan sekularis yang ingin mencontoh negara Turki yang belum lama ketika itu mengubah bentuk negera menjadi sekuler.
Ketika hari ini kita saksikan betapa usaha untuk merubah dasar negera yang telah disepakati oleh pendahulu negara ini berjalan secara masif dan sistematis. Maka tak salah jika respon yang terjadi di sebagian elemen masyarakat juga demikian. Demontrasi yang memang menjadi ciri khas negara demokrasi menjadi sesuatu yang wajar terjadi. Orasi-orasi dan ekspresi kemarahan atas usaha pengubahan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah hal yang bermasalah. Sebab, apa yang mereka marahkan tidaklah salah.
Penulis sendiri melihat fenomena yang terjadi saat ini merupakan sebuah bentuk ketidak cerdasan mereka yang ingin mengubah Pancasila. Mereka tidak memahami momentum saat ini yang seharusnya banyak dipergunakan untuk membantu sesama dalam bertahan dari efek wabah. Ketika UU kontroversial tersebut di bahas, seolah-olah wakil rakyat kita memancing warga masyarakat untuk berkontribusi terhadap pertambahan jumlah pasien wabah bersebab demo tersebut. Para wakil rakyat yang merembugkan permasalah tersebut bisa dikatakan sebagai tersangka atas pertambahan pasien dari aksi demo ini.
Kita semua seharusnya menyadari akan bahayanya wabah ini, tak terkecuali para wakil rakyat. Ketika masa pandemi yang cukup menguras hati dan pikiran masih berlangsung. Membuat masalah yang memancing kerumunan adalah sebuah kesalahan atau dosa yang berlipat. Pertama salah karena sebab usaha perubahannya dan kedua adalah salah karena timbulnya demontrasi yang tak seharusnya terjadi di masa sulit ini. Seperti yang kita ketahui sebelumnya persebaran wabah paling potensial terjadi di saat kerumunan terjadi. Dan sebuah demontrasi tidaklah berjalan tanpa danya sebuah kerumunan.
Dua kesalahan tersebut telah mewakili betapa tidak cerdasnya mereka dalam memilih kondisi. Ketidak cerdasan tersebut mengancam hadirnya gelombang pernyabaran wabah yang tinggi sehingga dapat mengancam kesehatan dan keselamat warga negeri sendiri. Inilah yang penting untuk di fikirkan bagi mereka yang mungkin sedang kehilangan kecerdasannya ketika membahas hal tersebut.
Penulis berpesan kepada para pengusung dan pendukung terbitnya UU tersebut untuk memikirkan hal yang lebih urgen dibandingkan mengoalkan kepentingan segelintir orang. Kemaslahatan orang banyak haruslah diutamakan dibandingkan menuruti kemauan sekelompok orang. Tak seharusnya sikap-sikap yang cenderung tidak berfikir secara jangka panjang seperti saat ini tetap dipertahankan. Sudah saatnya kita belajar kembali agar semakin cerdas dalam memilah setiap kepentingan. Semua ada proses dan waktu yang tepat. Jika para pengusung tetap ngotot untuk di sahkannya UU tersebut maka tidak ada jalan lain yang baik selain melakukan diskusi ilmiah bersama para tokoh penolak UU tersebut. Dan tetap memikirkan waktu yang tepat dalam agenda tersebut, bukan maksakeun saat ini juga. Udah gitu aja. #TolakTidakCerdas