Tingkat literasi masyarakat kita relatif rendah dibanding dengan masyarakat di negara-negara lain. Hal ini berimplikasi pada tradisi ilmu pengetahuan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita dewasa ini. Ilmu menjadi kurang berkembang, kalaupun berkembang ia berkembang dengan lambat, kurang diminati dan kurang daya tariknya. Keadaan tersebut harus dibenahi, karena hal itu ditakutkan akan menggiring masyarakat pada stagnasi, terbelakang dan bodoh.
Rendahnya tradisi ilmu pengetahuan merupakan ciri masyarakat yang stagnan, terbelakang dan bodoh. Pola yang berkembang akhirnya pola masyarakat yang bersumbu pendek, mengutamakan arogansi dan mengandalkan kekuatan fisik sebagaimana pada zaman kuno dalam kerangka hukum ‘primus interfares’. Sebaliknya bila ilmu diberikan tempat yang layak maka masyarakat yang terbentuk ialah masyarakat yang bervisi jauh, mengutamakan rasionalitas dan mengandalkan kekuatan akumulatif (jiwa, pikiran dan tindakan).
Gambaran di atas bisa kita lihat pada masyarakat Yasrib sebelum kedatangan Nabi Saw. Diketahui Suku Aus dan Suku Khajraz sering beradu paham hingga beradu pedang di medan pertempuran. Di samping berperang secara psikis dan ideologis. Hal tersebut dapat terjadi selain dikarenakan sumber daya manusia mereka yang rendah, juga dikompori dan dibodoh-bodohi oleh kalangan Yahudi yang sedang berbisnis senjata. Karena itu mereka memiliki ciri sebagai masyarakat bersumbu pendek dan mudah sekali dikibuli.
Kedua suku ini tidak mampu berpikir kritis dan membaca keadaan bahwa mereka diadudomba. Kalaupun mengetahui diadudomba tradisi berperang tetap saja dipelihara karena yang dikedepankan adalah emosionalitas bukan rasionalitas. Tetapi kondisi mereka berubah drastis pasca datangnya Nabi bersama para pengikutnya ke kota ini. Suku Aus dan Khajraz menjadi saudara baik seiman maupun setanah air.
Perubahan besar ini disimbolkan oleh Nabi dengan mengubah nama kota yang semula bernama Yasrib menjadi Madinah Al-Munawwarah yang memiliki arti ‘kota yang bercahaya’. Perdamaian di antara mereka terjadi setelah masuknya ilmu yang akhirnya memicu kesadaran individu dan kolektif. Setelah mereka berdamai tradisi ilmu terus berkembang, khususnya ilmu-ilmu agama. Menjadi masyarakat yang berpijak pada spiritualitas dan rasionalitas. Tidak gampang tersulut emosi dan tidak mudah diadudomba lagi.
Berkaca pada sejarah di atas dan sejarah masyarakat lainnya yang sebelumnya terbelakang lalu berkemajuan dan beradab, kita selaku umat Islam terbesar di dunia jangan sampai telat menyadari situasi dan kondisi yang berkembang. Saatnya menggelar kembali tradisi ilmu lebih luas lagi. Mendudukkan ilmu pada tempat yang utama agar umat Islam di Indonesia tidak hanya bangga soal kuantitas, namun juga bangga soal kualitasnya.
Ketika ilmu dijadikan sebagai teman dekat dan domain utama, masyarakat akan bersikap lebih cerdas, inklusif dan toleran terhadap perbedaan. Masyarakat memiliki karakter terbuka, pluralistik dan ilmiah dalam menyikapi sesuatu yang muncul dihadapannya.
Namun, perkembangan ilmu yang makin hari makin berkembang tersebut tidak selalu disambut positif. Hal ini kaitannya terutama dengan ilmu-ilmu yang dianggap produk Barat. Bahkan sejak dulu tidak semua umat Islam apresiatif terhadap ilmu-ilmu yang sedang berkembang. Misalnya perkembangan ilmu filsafat. Bukan hanya tidak apresiatif namun sebagian umat Islam ekstrem bahkan mengharamkannya. Padahal dewasa ini kita dapat melihat kenyataan bahwa di antara para ilmuwan yang menghantarkan Dinasti Abbasiyah pada puncak kejayaannya ialah para tokoh filsafat.
Bila ditarik pada kondisi saat ini, ternyata banyak kalangan muslim yang antipati terhadap ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Padahal tidak semua yang datang dari sana bermakna negatif. Ilmu-ilmu seperti sosiologi, psikologi, manajemen dan lain-lain yang datangnya dari Barat dewasa ini berkembang luas di dunia muslim dan terbukti dapat diambil buahnya.
Menyikapi hal tersebut, hemat penulis tidak perlu khawatir dan takut terhadap perkembangan ilmu. Sekalipun timbul kekhawatiran dan ketakutan ilmu-ilmu yang datangnya dari luar dunia muslim bisa meruntuhkan sendi-sendi ajaran Islam, kita tinggal menguji dan meng-counter-nyalagi lewat jalur akademik. Karena karakter ilmu itu terbuka sehingga sewaktu-waktu bisa saja suatu teori keilmuan runtuh dan tidak lagi relevan.
Bahkan tradisi keilmuan yang berkembang di dunia muslim sendiri banyak menghadapi tekanan dan resistensi. Seperti perkembangan tasawuf. Banyak yang tidak apresiatif bahkan memfatwakan tasawuf ke dalam rumpun ilmu-ilmu yang sesat. Padahal untuk pengasahan batin agar lebih tajam lagi, ilmu dan praktek tasawuf sangatlah penting.
Narasi-narasi anti-ilmu inilah sesungguhnya yang menghantarkan kita sebagai umat Islam relatif tertinggal oleh umat-umat lainnya di muka bumi ini. Bahkan, meminjam istilah Buya Syafii, umat Islam berada pada ‘kaki peradaban’ yang teramat rendah. Jangan sampai hal ini menghadang kita menuju cita-cita sebagai umat terbaik di muka bumi ini (khaira ummah).
Sebagai penutup, sepertinya masih sangat relevan satu mahfudzat (kata-kata mutiara) yang penulis dapat di dekolah diniyah dulu. Ilmu itu diibaratkan sebagai cahaya. Sedangkan kebodohan ibarat marabahaya (al-ilmu nuurun, al-jahlu dhaarun). Ilmu dapat mencahayai setiap individu dalam menjalani hidupnya sebagaimana fungsi cahaya bisa menerangi alam sekitarnya. Sebagai muslim, sudah semestinya kita lekat pada tradisi ilmu dari manapun dan siapapun. Tidak perlu ada ketakutan karena ciri ilmu itu terbuka dan senantiasa mengarahkan pemiliknya pada kemajuan.