Harun Nasution merupakan nama yang tidak asing lagi di lingkungan akademisi Islam khususnya mereka yang berada di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Ia merupakan salah seorang cendekiawan yang cukup berpengaruh dalam membentuk corak studi Islam di lingkungan perguruan tinggi tersebut. Hal itu dapat dilihat dari berbagai karyanya yang banyak dijadikan rujukan para akademisi baik untuk penulisan karya tulis ilmiah, diskusi, tugas mata kuliah dan lain sebagainya. Di antara bukunya yang sering dijadikan rujukan berjudul Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid I dan II. Selain juga buku lainnya seperti buku Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran.

Salah satu yang menjadi fokus perhatiannya ialah perkembangan umat Islam mulai dari zaman klasik hingga zaman moderen. Ia sendiri membagi sejarah umat Islam ke dalam tiga periode yaitu zaman klasik, zaman pertengahan dan zaman moderen. Zaman klasik bermula sejak Islam muncul dibawa oleh Nabi Muhammad hingga runtuhnya kerajaan Abbasiyah di tangan bangsa Mongol pada tahun 1258 M. Sedangkan zaman pertengahan yaitu dimulai sejak Baghdad runtuh pada tahun 1258 hingga tahun 1800-an yaitu ketika bermunculannya para pembaharu muslim seperti Rif’at Al-Tahtawi, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Sementara Zaman moderen bermula sejak munculnya para pembaharu tersebut hingga sekarang.

Pada masa klasik perkembangan umat Islam sangatlah pesat dengan kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Puncaknya yaitu di masa kerajaan Abbasiyah sejak dipimpin Harun Ar-Rasyid, sementara Eropa pada pada waktu itu dalam kondisi terpuruk. Salah satu hal yang menopang kejayaan tersebut menurut Harun Nasution yaitu dimanfaatkannya rasionalitas (akal pikiran) dalam kehidupan umat Islam. Apalagi pada masa Kholifah Al-Makmun pada saat kultur keilmuan Islam sangat terawat waktu itu. Pada masa ini muncul banyak lembaga ilmu pengetahuan seperti Baitul Hikmah (House of Wisdom) dan universitas seperti Al-Azhar.

Ia sendiri menyebut bahwa ajaran Islam pada massa Abbasiyah sudah diberi corak peradaban yang tinggi. Sebelumnya ketika Islam berkembang di Madinah Islam masih bercorak agama dan negara sementara di Makkah Islam hanya bercorak agama saja. Umat Islam pada zaman klasik tidak selalu bergantung atau terpaku pada teks (al-Qur’an dan Sunnah) dalam menetapkan sebuah hukum namun juga melihat konteks dengan menggunakan akal pikiran (rasionalitas) sebagai alat analisis yang kemudian dikenal dengan nama ijtihad. Dengan mengambil jalan ijtihad umat Islam mengalami konstruksi pemikiran yang dinamis bukan pemikiran yang statis. Inilah yang menghantarkan Umat Islam bisa meraih puncak kejayaannya.

Menurut beliau Islam merupakan agama yang menempatkan akal pikiran pada posisi yang tinggi, dan bukan sebagai antitesis terhadap wahyu yang datang kepada Nabi. Dikatakan seperti itu karena di dalam teks al-Qur’an sendiri terdapat pertanyaan sekaligus seruan untuk terus menggunakan akal pikiran. Seperti kalimat  ‘apala ta’qiluun’ (tidakkah kamu berakal?), ‘apala tatafakkaruun’ (tidakkah kamu berpikir?), ‘apala yanduruun (tidakkah kamu melihat?)dan ayat-ayat lain yang semakna. Keberanian dalam menetapkan hukum berdasarkan ijtihad dengan akal pikiran yaitu seperti dilakukan Umar bin Khatab ketika ia dan pasukannya menduduki Irak.

Pada masa sebelumnya tanah-tanah yang dikuasai tentara muslim dibagi-bagi pada tentara yang berperang sebagaimana pada masa Rasul. Namun Umar berpandangan bahwa percuma saja bila dibagikan kepada para tentara, tanah tersebut tidak akan terpelihara dengan baik mengingat seorang tentara perang tidaklah bermukim selamannya di sana. Akhirnya tanah yang telah dikuasai pasukannya tetap diberikan kepada penduduk sekitar dengan catatan mereka harus membayar pajak untuk kepentingan negara.