Kontak umat Islam dengan  ilmu pengetahuan lain di luar umat Islam seperti filsafat dari Yunani turut mendukung majunnya umat Islam pada masa klasik ini. Islam yang sejak awal menurut Harun Nasution sangat mengapresiasi akal pikiran bertemu dengan tradisi berpikir filosofis bangsa Yunani yang menjadi katalisator (pemercepat) perkembangan Ilmu pengetahuan di dunia muslim waktu itu. Umat Islam secara umum tidak anti terhadap perkembangan keilmuan khususnya filsafat meskipun ada beberapa yang mengharamkannya dari kalangan ahli fikih yang ketat.

Sikap aware terhadap kebudayaan ilmu pengetahuan dari berbagai bangsa tersebut yang pada akhirnya melahirkan para ilmuwan terkenal seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Al-Haytam, Ibnu Rusydi, Al-Ghazali, Al-Biruni, Al-Khawarizmi dan yang lainnya. Pengaruh filsafat bukan hanya masuk dalam lapangan ilmu umum seperti astronomi atau matematika, namun juga berpengaruh terhadap teologi dan tasawuf (mistisme Islam).

Aliran teologi yang menjadi perhatian Harun Nasution ialah aliran Muktazilah yang dipelopori pertama-tama oleh Wasil bin Atha. Aliran teologi dalam Islam yang dikenal karena penggunaan akal pikiran (rasionalitas) dalam berbagai argumentasinya. Kaum Muktazilah merupakan respon terhadap aliran teologi lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah dan As’ariyah. Meskipun pada perkembangannya Muktazilah banyak ditinggalkan namun sejak munculnya ide pembaharuan Islam di fase moderen, pemikiran-pemikiran rasional kelompok ini mulai banyak diperhatikan kembali.

Salah satu perdebatan yang berkembang pada masa lalu misalnya tentang sifat Tuhan. Kelompok As’ariyah mengehendaki adanya sifat-sifat bagi Tuhan sementara Muktazilah tidak. Kaum muktazilah memandang sifat abadi, qodim, pemurah dan penyayang bukanlah sifat Tuhan melainkan esensi Tuhan itu sendiri. Selain itu terdapat perebedaan pendapat yang lain misalnya mengenai qodar, kaum Muktazilah memandang bahwa Tuhan telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbuat (free will dan free act), karena hanya dengan itu konsep keadilan Tuhan bisa dipahami. Tanpa adanya kebebasan Tuhan tidak bisa menghukum.

Hal ini bertentangan dengan Jabariyah (fatalisme Islam) yang berpendapat bahwa perilaku manusia secara keseluruhan mutlak digerakkan oleh Tuhan. As’ariyah yang banyak dianut hingga kini menurut Harun Nasution masih lebih condong kepada kelompok Jabariyah dalam hal ini. Sehingga umat Islam banyak yang menggantungkan kehidupan pada nasib bukan kehendak bebas manusia. Dari sini sebetulnya sudah bisa dimengerti mengapa umat Islam pada zaman pertengahan tidak semaju sebelumnya, karena menurut Harun salah satunya karena faktor paham teologis yang dimapankan dan dianggap sakral.

Dari tulisan-tulisan yang dimuat kelihatannya Harun Nasution  tidak terlalu menaruh perhatian pada aliran Asy’ariyah, karena paham teologis yang satu ini menurut pandangannya terlalu menyempitkan makna akal, dan menempatkan wahyu sebagai penentu yang dominan . Sementara di satu sisi dia sangat pada tertarik pada pendapat Muktazillah yang mengatakan bahwa wahyu turun bertujuan untuk menguatkan akal pikiran yang tugasnya cukup baik untuk menggali kebenaran dan mengetahui sesuatu yang benar.

Selain pengaruh paham teologis, penyebab mundurnya umat Islam menurut Harun Nasution juga disebabkan karena terlalu bergantung pada satu mazhab atau aliran tertentu. Misalnya hanya bergantung pada mazhab Syafi’i dan kurang mempertimbangkan mazhab yang lain. Selain itu, perhatian umat Islam hanya melihat ajaran Islam dari satu dua aspek saja, seperti tadi hanya melihat aspek teologis dan ibadah misalnya. Padahal bila mau mengembangkan ajaran Islam dan memunculkan kembali supremasi ilmu pengetahuan di dunia Islam, maka Islam harus ditinjau dari berbagai aspeknya.

Kedatangan para pembaharu Islam yang membawa ide-ide rasional kembali dari daratan Eropa seperti yang dilakukan Muhammad Abduh atau Sayyid Ahmad Khan misalnya, membuka peluang pada kemajuan umat Islam di zaman moderen ini. Umat Islam mulai meninjau kembali gagasan-gagasan Rasionalisme Islam (kelompok Muktazilah) yang sempat ditinggalkan. Akal pikiran sebagai alat berpikir mulai digunakan kembali dalam menata permasalahan yang ada khususnya di dalam internal umat Islam.

Seruan agar umat Islam berani kembali dalam melakukan ijtihad sudah mulai dilakukan sejak Al-Tahtawi membawa ide pembaharuan dari Perancis ke Mesir. Bukan hanya kembali atau mempertimbangkan pada para penafsir lama saja, melainkan harus berani merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah secara langsung untuk disesuaikan dengan konteks waktu dan tempat. Umat Islam mulai meninggalkan dogma yang selama ini menyebabkan stagnasi dan kejumudan selama abad pertengahan Islam. Seruan kembali agar menggunakan akal pikiran dalam beragama seperti yang dilakukan Harun Nasution telah membentuk suatu paham Islam Rasional yang bisa dijadikan pertimbangan untuk melanjutkan usaha-usaha pembaharuan di dunia Islam.