Hingga detik ini viral di media sosial mengenai poster yang isinya mengatakan bahwa kue klepon dicap sebagai makanan yang tidak islami dan kurma itu islami. Tulisan itu seperti ini “Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan yang islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami…” Di pojok kanan bawah poster tersebut tertulis nama ‘Abu Ikhwan Aziz’.  Berbagai media massa ramai-ramai mengomentari dan memberikan tanggapan pada poster tersebut.

Yang menarik adalah kenapa harus klepon yang dicap tidak islami? Mau ketawa tapi takut dosa. Dan pertanyaannya adalah apa lagi yang akan dicap tidak islami setelah klepon? Martbak, kue balok atau surabi Haneut Mang?  Agama itu memang komprehensif dan menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari, tapi cik atuh nu kitu wae mah piraku rek disebut teu islami pedah lain datangna  ti arab, kitu cuk? Padahal dalam islam makanan itu labelnya bukan islami atau tidak, tapi halal, baik, mubah atau haramnya yang diajarkan oleh agama islam selama ini.  

Fenomena klepon ini semakin menegaskan bahwa ada di antara umat islam yang dalam memparadigmakan sesuatu selalu mendikotomikan urusan dunia pada apa yang islami dan yang tidak islami tanpa akal pikiran yang waras sedikitpun.Yaitu kalangan islam yang memiliki kebiasaan buruk dan getol membenarkan pendapatnya serta menyalahkan orang lain yang tidak sama dengannya. Kebiasaan seperti ini yang akhirnya memicu kegaduhan dan pertentangan antarsesama umat islam. Saya ingin mengatakan Kumadinyawelah mamang, hehe.

Seperti dikatakan Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, bahwa keagamaan kita hari ini banyak diwarnai oleh fenomena komodifikasi agama yang membuat beragama menjadi tidak mencerahkan dan menjadi solusi. Komodifikasi agama  merupakan suatu peristiwa dimana agama selalu dijadikan alat untuk kepentingan perniagaan seseorang atau kelompok tertentu agar mendulang banyak keuntungan. Seperti kasus klepon saat ini yang dikatakan tidak islami dibandingkan dengan kurma yang menurut mereka islami.

Selain klepon, fenomena komodifikasi agama juga muncul dalam pakaian dan aksesoris sehari-hari. Misalnya topi yang berbalut kalimat tauhid, sarung, kopiah atau baju. Pihak penjual semakin banyak mendulang keuntungan setelah ditempeli kalimat tauhid. Bahkan ada yang mempromosikannya dengan embel-embel islam dan misalnya mengatakan bahwa beribadah dengan sarung yang mereka dagangkan   akan menjadikan ibadah seseorang lebih khusyu dan tenang. Apakah khusunya ibadah dilihat dari sarung?

Komodifikasi agama ini tentu harus disikapi dengan bijak dan umat islam harus dijauhkan dari paradigma seperti itu. Karena di dalam al-Qur’an juga dikatakan bahwa seseorang tidak boleh menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah, kan? Sehingga agama bisa menjadi solusi yang konkret menghadapi masalah dalam kehidupan umat manusia. Mudah-mudahan kita ditunjukkan pada ‘sirotol mustaqim’ setelah kasus klepon ini, bukan ‘walad doolliin’.  

Tinggalkan Balasan