Kata Salafi sering diidentikkan dengan kata Wahabi. Padahal makna kedua kata tersebut sangatlah berbeda. Orang-orang sering mengatakan Salafi itu Wahabi dan Wahabi itu Salafi. Akhirnya terjadilah salah dalam persepsi, salah dalam pemaknaan dan salah dalam menyimpulkan. Bila kita melihat pendapat-pendapat para sarjana keislaman, kita akan menemukan perbedaan yang mencolok dari kedua kata tersebut.

Lalu, apa itu Salafi? Menurut Abi Abdurrahman Al-Thalibi yang dikutip oleh Haedar Nashir, Salafiyah (Salafiyyah) bersama dengan istilah lainnya seperti Salafiyyun, Salafiyyin, Salafy atau Salafi dalam bahasa Arab maknanya yaitu terdahulu, telah lalu, telah selesai, kaum di masa lalu dan sebagainya. [1] Kata Salafi ini sering diperhadapkan dengan kata Khalaf yang berarti kebalikkan makna dari Salafi. Khalaf maknanya generasi yang datang belakangan, atau bisa dikatakan sebagai generasi yang dewasa ini baru muncul.

Selain itu  Haedar, guru besar sosiologi tersebut juga mengutip pendapat Aboebakar Atjeh yang mengatakan bahwa secara sederhana Salafiyah itu adalah khazanah ilmu atau ajaran shalafus shalih. Salafiyah berarti ajarannya, Salafiyyin berarti pengikutnya dan Salafi merupakan sebutan bagi orang-orang yang mengikuti ajaran shalafus shalih. Generasi shalafus shalih biasanya dialamatkan pada zaman sahabat, tabi’in dan thabi’i thabi’in (pengikutnya thabi’in) di masa-masa awal perkembangan ajaran Islam.

Singkatnya Salafiyah ialah mereka yang berusaha mengikuti dan mengamalkan ajaran Islam sebagai mana yang telah diajarkan generasi terdahulu, terkhusus zaman-zaman yang telah disebutkan di atas. Pengertian ini membawa konsekuensi pada sejumlah fakta bahwa kelompok Salafiyah selalu berupaya untuk memurnikan (purifikasi) ajaran Islam kepada bentuk aslinya. Maka adagium yang terkenal dari gerakan Islam bercorak Salafiyah ini ialah kembali pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi (arruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah).

Sedangkan kata Wahabi dalam berbagai literatur hampir semuanya ditujukan kepada gerakan dan ajaran Islam yang diinisiasi oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, yaitu seoarang ulama yang lahir di negara Arab Saudi sekarang. Wahabi kemudian dikenal sebagai gerakan Islam yang paling gigih dalam mengusung ide purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dalam berbagai dimensinya.

Gerakan Islam yang dipelopori Abdul Wahhab beserta pengikutnya ini terhitung sangat ekstrem dan redikal. Maksudnya dilakukan dengan upaya yang tidak biasa dan jauh dari kebiasaan gerakan Islam pada umumnya pada masa itu. Salah satu bentuknya ialah penghancuran situs-situs sejarah yang selama ini dianggap oleh banyak orang sebagai keramat. Termasuk pemurnian fisik dan mindset orang Islam terhadap makam Nabi Muhammad Saw. Itu karena keyakinan Wahabi yang ketat terutama dalam hal akidah.

Gerakan Wahabi ini, yang kemudian orang sering megidentikkannya dengan Salafi,  memang selalu mencitrakan gerakannya sebagai upaya meniru dan mempraktekkan kembali ajaran shalafus shalih yang telah banyak ditinggalkan oleh umat Islam. Sehingga umat Islam sangat jauh dari ajarannya yang murni itu. Dengan konsistensi dan keberhasilan Wahabi mencitrakan dirinya sebagai salafi, hal tersebutlah yang pada akhirnya banyak menyebabkan mispersepsi sebagaimana disebutkan di awal.

Sebagian ahli mengatakan bahwa kata Salafi selalu dijadikan simbol atau daya tarik suatu gerakan Islam. Sehingga banyak kalangan yang berupaya meneguhkan dirinya sebagai yang paling salaf. Atau  yang paling benar dalam meniru dan mempraktekan ajaran shalafus shalih. Satu di antaranya ialah kelompok Wahabi yang dengan militan dan gigih dalam menyebarluaskan paham keagamaan yang diyakininya sebagai salafiyah yang benar.

Bila mengacu pada definisi salafiyah di atas, tentu makna salafiyah tidak berarti identik dengan Wahabi. Dalam hal ini, sekelompok umat Islam yang berupaya mengamalkan kembali ajaran shalafus shalih sebagaimana waktu  silam tidaklah tunggal. Pada titik ini, Salafiyah menjadi terkategorisasi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan kecenderungannya masing-masing. Kategorisasi Salafiyah tersebut salah satunya disampaikan oleh Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir sebagaimana yang akan disampaikan berikutnya.


[1] Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Bandung, Mizan, 2013, hlm. 171

Tinggalkan Balasan