Dalam buku 99 cara belajar hidup ala Pope Francis, di dalam bahasan macam-macam penyakit modern, dua sub-bab ini yang cukup unik untuk dibahas, dan mungkin bagi sebagian orang merasa asing, bahkan belum mengetahui tentang apa itu alzheimer spiritual dan skrizofrenia eksistensial. Ini merupakan bagian dari penyakit modern, atau sebuah penyakit yang timbul karena fenomena sosial yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.

Penyakit modern ini ditemukan oleh Pope Francis di dalam tubuh Kuria Romawi, yang mana mereka yang menjadi bagian dari Kuria selalu dituntut untuk memperbaiki diri sendiri dan bertumbuh dalam persekutuan, kesucian, dan kebijaksanaan agar bisa melaksanakan misinya. Dari penyakit modern yang diuraikan oleh Pope Francis ini kita dapat bercermin untuk melihat siapa kita dan cenderung mengidap penyakit spiritual yang mana. Setelah dapat mendiagnosis penyakit mana yang kita idap, kita diajak untuk mawas diri.

            Alzheimer spiritual dapat dikatakan sebagai kepikunan otak rohani. Penyakit Alzheimer termasuk kedalam jenis penyakit demensia (hilang ingatan atau pikun) yang awalnya ditandai dengan melemahnya daya ingat, hingga gangguan otak dalam melakukan perencanaan, penalaran, persepsi dan berbahasa. Pada tingkatan yang parah, penderita dapat berhalusinasi.

Menurut Pope Francis, orang yang mengalami “hilang ingatan” bahwa ia memiliki sejarah yang telah membentuknya, yakni sejarah di mana Tuhan secara nyata campur tangan dan menghendakinya untuk bertumbuh dan berkembang dengan baik. Orang tersebut dapat mengalami kemunduran rohani semakin akut. Ia tak ubahnya seorang cacat yang dari dirinya sendiri tidak mampu berbuat apa-apa.

Ia hidup terkurung dalam pandangannya sendiri, yang sering kali hanya imajinasi dan ilusi. Alzheimer spiritual ini tampak dalam gejala-gejala yang muncul kepada orang-orang yang melupakan Tuhan, lalu menggantungkan diri sepenuhnya terhadap hal-hal yang fana. Seperti kepada nafsu sesaat, keinginan duniawi, serta obsesi mereka sendiri. Mereka menyingkirkan Tuhan dan membiarkan diri diperbudak kehidupan dan budaya modern.

Penyakit ini sudah dapat kita lihat dan sudah banyak kasus terhadap mereka yang terlalu terlena oleh dunia, menyangkal akan kuasa Tuhan dan ingin merasa terbebas atau ‘merdeka’ dari kewajiban mereka sebagai hamba Tuhan. Mereka kehilangan iman mereka secara dan berangsur pudar. Sebagaimana perkataan Pope Francis, ia mengatakan bahwa iman adalah suatu daya hidup, iman memberikan kepenuhan pada kemanusiaan kita. Apabila kita tidak beriman kepada sang Pencipta, bagaimana kita dapat memiliki daya atau kekuatan didalam kehidupan, khususnya dalam aspek spiritual?

Kemudahan untuk mengakses, meniru dan mencari sesuatu yang kita inginkan menjadi kita lupa akan batasan yang sudah ditentukan oleh-Nya. Merasa angkuh saat menginjakkan kaki di bumi, hingga melupakan bahwa bumi merupakan salah satu bagian dari ciptaan-Nya, dengan baiknya Tuhan ia memenuhi segala kebutuhan kita dan menjamin kita dengan kecukupan selama kita hidup. Masih saja terdapat manusia yang ingkar dan tidak ingin mengakui itu semua.

Pope Francis memiliki cara untuk menghindarkan kita, anggota keluarga dan lainnya agar terhindar dari penyakit ini. Ia pernah mengajari terkait proses kepekaan ini. Menurutnya, proses kepekaan mestinya dimulai sedari dalam keluarga, melalui proses pembiasaan. Saat menidurkan anak-anak mereka yang baru lahir, orang tua mesti memercayakan anak-anak mereka kepada Tuhan, seraya memohon agar Tuhan menjaga mereka.

Ketika anak-anak bertambah usia, orang tua perlu membantu anak-anak untuk mendaraskan beberapa doa sederhana, seraya mengenang kasih sayang orang lain. Seperti kakek dan nenek, kerabat, orang tua, mereka yang sedang sakit dan menderita, dan semua yang membutuhkan pertolongan Tuhan. Dengan proses hidup seperti ini, anak-anak akan selalu terhubung dengan Tuhan, saudara, sesama dan kenyataan hidup. Apabila kita belum terbiasa dengan kepekaan terhadap kuasa Tuhan melalui lantunan doa agar dijaga dan diselamatkan, kita bisa memulai dari sekarang dan terus mencoba agar terbiasa.

Menurut Pope Francis, penyakit Skizofrenia Eksistensial ini digunakan untuk menggambarkan orang yang secara spiritual menjalani hidup ganda, pikiran terbelah atau hidup dalam kemunafikan. Ia mengajarkan kepada orang lain suatu hal yang baik, tapi ia sendiri tidak menjalankannya. Ia banyak omong tentang kebaikan, tapi hidupnya sendiri tidak sejalan dengan apa yang diomongkannya. Penyakit spiritual ini mewujud dalam diri orang yang lari dari realitas sehari-hari. Ia membatasi diri pada pelayanan birokrasi atau administrasi. Artinya, ia hanya mengabdi pada cara-cara legalis atau aturan-aturan moral kaku, tapi mengabaikan manusia yang seharusnya mereka layani sesuai martabatnya. Pelayanannya tidak menjawab kebutuhan nyata yang dilayani. Ia hanya sibuk dengan aturan-aturan dan bayangan sendiri.

Richard Templar memberi sedikit petunjuk untuk mengetahui siapa diri kita dalam setiap hal yang kita lakukan. Berikut petunjuk tersebut.

  1. Bagaimanakah saya melakukan pekerjaan tersebut?
  2. Apakah yang saya kerjakan?
  3. Ke manakah saya mengarahkannya?

Dari ketiga petunjuk tersebut, dapat dijabarkan seperti berikut. Kita tidak perlu mengatakannya kepada setiap orang yang kita jumpai; kita juga tidak perlu terlalu detail memikirkannya; dan kita hanya butuh merumuskan apa maksud hati kita melakukan pekerjaan tersebut. Contoh yang disebutkan dalam buku ini adalah kita melakukan suatu pekerjaan demi kebahagiaan orang lain; putuskan apa yang menjadi maksud hati kita dengan sesuatu yang kita lakukan. Keputusan ini akan membuat hal-hal selanjutnya menjadi mudah.

“Kemunafikan tidak memiliki warna, tapi ia bermain agak redup dan bergerak pelan-pelan, seraya merayu dengan pesona kebohongan.” –Pope Francis. Memiliki sifat munafik sangat tidak dianjurkan bagi setiap orang. Karena apa? Mereka yang munafik didalam hidupnya sulit untuk mendapatkan kesempatan untuk dipercayai oleh orang lain, selama hidupnya menghabiskan kebohongan yang dilapisi dengan manisnya perkataan untuk meyakinkan orang banyak. Menebar perkataan manis, menyeru untuk berbuat baik terhadap sesama, namun nihil dalam memberi contoh untuk dijadikan panutan orang banyak. Apakah kita adalah seseorang yang dalam hidupnya menjalankan sikap munafik ini, atau menjadi seorang legalis yang kaku? Hanya kita sendiri yang mampu menilai dan mengetahui atas pertanyaan tersebut.

Sebetulnya masih banyak mengenai penyakit modern yang terjadi, namun kedua penyakit spiritual ini menjadi sorotan penulis untuk disampaikan kepada pembaca agar lebih bermawas diri. Kedua penyakit modern ini apabila kita pahami, memang sulit untuk diakui oleh diri kita sendiri dan masih jarang mereka yang sadar akan ‘bahaya’ nya penyakit yang dapat membawa kita kepada penyesalan di akhir. Menjadi seorang yang tidak mengakui akan kuasa Tuhan dan lupa diri akan segala nikmat yang telah diberi-Nya, ibarat menjadi manusia yang tidak tahu malu.

Manusia berwujud kecil, masih merasa bahwa dirinya besar dan bisa menjalani hidup tanpa bantuan Sang Maha Kuasa? Semoga kita dijauhkan dari sikap seperti ini. Karena sedikit keangkuhan manusia dapat membawa malapetaka apabila masih diteruskan dan belum disadari. Begitupun dengan menjadi manusia berwajah ganda, sudah seperti badut yang berusaha menutupi ‘kedok’ aslinya, hanya demi membuat orang lain bahagia dan berusaha untuk memikat hatinya. Badut di taman bermain sungguhlah menghibur, namun apa kabar dengan mereka yang bertopeng dengan maksud lain? Mengerikan.  Akhir kata, semoga kita semua dijauhkan dari kedua penyakit modern ini.