Menulis adalah salah satu kegiatan akademik yang sangat sering dilakukan oleh para akedimisi. Tidak hanya seorang akademisi, politisi, kyai, tokoh masyarakat pasti tidak lepas dengan kegiatan menulis ini. Dari mulai Bung Karno sampai K.H. Mustofa Bisri, semua orang yang memiliki pengaruh besar pasti memiliki skill dalam menulis. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan menulis ini sangat penting bagi setiap orang. Ada pepatah mengatakan “Jangan pernah menyakiti hati seorang penulis karena engkau akan abadi dalam karyanya”

Menulis merupakan sebuah kegiatan yang sangat besar manfaatnya. Jika kita sudah memiliki kecintaan kepada budaya menulis, maka nama kita akan abadi. Jasad mungkin akan hilang, tetapi karya akan terkenang. Teringat salah satu tokoh sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono.

 Beliau merupakan salah satu guru besar dan sastrawan Indonesia. Karyanya sangat memginspirasi banyak orang. Salah satu karyanya yang terkenal adalah puisi yang berjudul “Hujan Bulan Juni”. Tetapi nyatanya, hujan turun bukan di bulan Juni tetapi di bulan Juli. Pada tanggal 19 Juli 2020 lalu, beliau berpulang ke Rahmatullah. “Yang fana adalah waktu, kita abadi.”

Memang benar kegiatan menulis menjadi kegiatan yang sangat penting. Tetapi dalam menulis, ada hal-hal yang perlu sangat diperhatikan. Jangan sampai tulisan kita menjadi sesuatu yang hanya membuka wacana semata. Artinya, tulisan yang kita buat tidak memiliki kemanfaatan di dunia dan akhirat. Budaya ulama zaman dahulu dalam menulis adalah selalu berdoa kepada Allah agar tulisannya nanti bisa bermanfaat bagi orang banyak, tidak hanya di dunia tetapi di akhirat.

Dengan kata lain bahwa penulis zaman dahulu selalu mempertimbangkan dan memperhatikan aspek tanggung jawab dalam setiap tulisannya. Bahkan dikatakan dalam suatu riwayat bahwasanya ketika Imam Bukhori menuliskan suatu hadis dalam kitabnya, beliau selalu mempertimbangkan terlebih dahulu bahkan sampai sholat istikharah. Betapa besar tanggung jawab ulama zaman dahulu dalam setiap karyanya. Mereka selalu khawatir bila karya yang mereka hasilkan tidak membawa manfaat bagi orang banyak tetapi malah menjadi pemberat dalam timbangan dosanya.

Berbeda dengan budaya menulis di zaman sekarang. Banyak orang yang hanya sekedar menulis saja tanpa mempertimbangkan aspek tanggung jawab terhadap tulisannya. Banyak tulisan di sosial media yang mengandung pesan provokasi, intimidasi terhadap suatu kelompok, hoax dan lain-lain. Apalagi pada saat ada agenda politik seperti pilpres, pemilihan DPR MPR, dan sebagainya.

Tak jarang ditemukan artikel-artikel yang memfitnah dan menjelekkan lawan politik. Membangun citra negatif agar dapat memenangkan pentas politik. Kemudian tulisan-tulisan yang mengundang pro kontra di masyarakat seperti tulisan tentang bolehnya wanita haid melaksanakan puasa, konsep perkawinan di luar akad nikah sebagai solusi untuk poligami, pengharaman tradisi kemasyarakatan dan sebagainya. Di satu sisi tulisan seperti itu dapat membuka wacana baru bagi kajian keilmuan. Tetapi di satu sisi, tulisan itu mengundang pro kontra yang tak jarang melahirkan konflik bagi masyarakat luas.

Oleh karena itu, sebaiknya jika kita akan menulis perlu mempertimbangkan dan memperhatikan hal-hal yang penting seperti yang telah disebutkan. Hal ini bukan berarti menjadi sebuah larangan untuk menulis, tetapi sebuah peringatan bagi semua orang agar lebih berhati-hati dalam menulis. Setiap apa yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat. Setiap huruf yang kita tulis, akan dimintai kesaksiannya di hadapan Allah SWT.  Sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, pasti akan di balas oleh Allah SWT. Begitupun sebaliknya, sekecil apapun keburukan yang kita lakukan akan diberikan balasan oleh Allah SWT.

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”
— Quran Surat Az-Zalzalah Ayat 7-8


Oleh : Muhammad Yazid