Perbedaan dalam memahami dan mempraktekkan ajaran Islam bukanlah suatu masalah asal perbedaan itu memiliki dasar yang kuat yang bersumber dari teks keagamaan. Perbedaan pikiran itu telah menjadi sunnatullah yang niscaya dalam kehidupan ini. Termasuk kehidupan umat Islam sekarang.
Akan tetapi, persoalannya menjadi lain bila seseorang sudah tidak mau menerima perbedaan dalam memahami ajaran agama. Perilaku ini ujungnya sangat berpotensi pada suatu sikap radikal dan ekstrem dalam beragama. Dalam kondisi tertentu akan muncul berbagai masalah serius dari sikap seperti itu.
Bukan hanya di dalam agama Islam, dalam umat agama lain kita juga akan menemukan karakter penganut agama yang tidak toleran. Menampilkan pemahaman beragama yang statis dan kurang ramah dengan wacana di luar kelompoknya. Akhirnya mereka terjerumus dalam rumah ekslusivisme dalam beragama. padahal agama itu sendiri, khususnya agama Islam sangat menyuruh umatnya agar memiliki pandangan yang luas dan jauh soal memahami dimensi-dimensi ajarannya. Sebab itu dalam al-Qur’an banyak kita temukan ungkapan agar umatnya mau tekun berpikir dalam memahami segala peristiwa.
Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain atau bahkan menyalahkannya merupakan suatu sikap tidak menghargai. Bukan hanya tidak menghargai namun juga sebuah monopoli tafsir sehingga merasa kebenaran harus ada di pihaknya. Inilah yang menurut Khaled Abou El Fadl sebagai suatu sikap otoritarianisme dalam beragama.
Mereka yang beragama secara otoriter. Sikap otoriter beragama ini mengejawantah dan membuahkan tindakan yang kalut dan tidak mencerminkan sikap yang elok sama sekali. Sikap ini dapat kita tinjau ketika ada seorang Muslim di Amerika Serikat bernama Mahmoud Abdul Rauf, seorang pemain basket, yang menolak berdiri pada saat lagu kebangsaan Amerika diputar.
Atas tindakan tersebut, publik muslim dan non muslim ramai membincangkan perilaku Rauf di lapangan. Di antara yang memberi respon terhadap perilaku Rauf yaitu perkumpulan The Society for Adherence to the Sunnah (SAS) (Masyarakat Taat Sunnah). Perkumpulan ini mendukung sikap Rauf dengan menyampaikan dalil beberapa hadis Nabi. Bukan hanya menyampaikan hadis tersebut, lebih jauh perkumpulan ini mengatakan bahwa fatwa yang disampaikannya merupakan ketentuan syariah yang harus dipatuhi.
Tidak mau berdiri menghormati sebuah lagu kebangsaan merupakan sikap yang tidak lahir begitu saja. Ia lahir dari suatu konstruksi pemikiran yang dibentuk oleh lingkungan, pengalaman dan literasi orang tersebut. Muncul suatu pertanyaan bagaimana fatwa SAS tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan yang otoriter atau otoritarianisme dalam beragama, padahal ia hanya mendukung sikap Abdul Rauf yang tidak menghormati lagu kebangsaan saja?
The Society for Adherence to the Sunnah (SAS) (Masyarakat Taat Sunnah) merupakan perkumpulan muslim di Amerika yang memberikan fatwa-fatwa keislaman atas kejadian-kejadian tertentu . Menurut SAS, sikap Abdul Rauf tersebut merupakan hal yang sudah benar dan tepat. SAS menyampaikan tiga alasan utamanya dilengkapi dengan dalil-dalil yang mereka anggap relevan. Pertama, Sunah melarang berdiri untuk menghormarti siapapun. Alasan pertama ini didasarkan pada hadis-hadis berikut:
- Abdullah bin Abdurrahman menceritakan bahwa Anas pernah berkata : Tak seorang pun yang lebih dicintai mereka (para sahabat) kecuali Rasulullah Saw, meskipun demikian mereka tidak berdiri ketika berjumpa dengan Nabi karena mereka tahu bahwa Nabi tidak menyukainya (H.R Tirmidzi).
- Mahmud bin Ghaylan menceritakan bahwa Mu’awiyah muncul sehingga Abdullah bin Zubair dan Ibn Safwan berdiri ketika menjumpainnya. Mu’awiyah berkata “Duduklah, karena saya mendengar Nabi bersabda ‘Barang siapa yang senang bila orang lain berdiri di hadapannya, maka tempat orang itu kelak adalah neraka‘” (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi).
Kedua, Nabi melarang membungkuk kepada siapapun sebagai tanda hormat. Ketiga, SAS mengutip hadis berikut
“Abu Hurairah menuturkan bahwa ketika Muadz bin Jabal kembali dari Syam, ia mendatangi Nabi Saw dan bersujud di hadapannya, sambil berkata bahwa ia melihat orang-orang Syam bersujud untuk menghormati rahib mereka, dan bahwa Rasulullah Saw patut mendapat penghormatan lebih besar ketimbang penghormatan yang diberikan orang-orang Syam itu kepada para rahib mereka. Nabi menjawab : “jika saja aku harus memerintahkan kepada seorang untuk sujud kepada seseorang yang lain, niscaya aku akan memerintahkan kepada seorang istri untuk bersujud kepada suaminya” (H.R Tirmidzi).