Menurut SAS, sudah banyak yang memperbincangkan masalah Abdul Rauf tersebut namun tidak satupun darinya yang mencari berdasarkan ketentuan syariah untuk memberikan penjelasan mengenai kasus tersebut. Karena itu, SAS berusaha menampilkan ketentuan “yang benar” dari syariah mengenai kasus tersebut dengan tiga alasan di atas. Menurut Khaled respon SAS menggambarkan ketegangan antara yang otoritatif (yang berwenang) dan yang otoriter serta proses digunakannya sesuatu yang otoritatif untuk memproduksi sesuatu yang otoriter.
Pembicara, dalam hal ini SAS, menurutnya mencitrakan diri seolah-olah dia adalah penjelmaan dari teks. Akhirnya, pembicara dan teks menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sehingga, pada kondisi tersebut, dengan memanfaatkan teks, pembicara menjadi corong dari otoritarianisme sekaligus corong dari ketetapan Tuhan.
Keberatan Khaled didasarkan pada fakta-fakta misalnya tentang hadis dari Anas yang telah disebutkan di atas. Khaled mencoba mengutip pendapat Imam Tirmidzi yang menyebutkan bahwa hadis tersebut merupakan hadis “hasan shahih gharib min hadza al-wajh”. Dalam hadis tersebut terdapat dua hal penting di mana SAS bisa dikatakan gagal memahami hadis yang disampaikannya
- Hadis dari Anas tersebut tidak berkaitan dengan masalah akidah atau ibadah. Hadis ini berkaitan dengan tatakrama dan etika.
- Menurut Tirmidzi, hadis “hasan shahih gharib min hadza al-wajh” lebih lemah dari hadis shahih. Jadi kemungkinan besar, kitab-kitab hadis lain tidak menerima autentisitas hadis ini, dank arena itu, tidak memuatnya.
Selain itu, Imam Nawawi, lanjut Khaled, menyebutkan bahwa Nabi Saw juga pernah berdiri untuk menghormati para sahabat, begitupun para sahabat pernah berdiri untuk menghormati Nabi Saw. Pada saat itu Nabi Saw tidak melarang ataupun mencela perilaku para sahabat tersebut.
Pertanyaan lebih jauh yang ada dalam pikiran Khaled adalah apakah hadis tersebut dapat digunakan sebagai ketetapan untuk melegitimasi haramnya menghormat lagu kebangsaan atau tidak. Ia mengatakan bahwa berdiri menghormati Nabi dan berdiri menghormati lagu kebangsaan merupakan hal yang berbeda sama sekali. [1]
Satu-satunya cara untuk mengeluarkan hukum berdasarkan hadis yang telah diketengahkan oleh SAS yaitu dengan penalaran qiyas. Sementara itupenalaran melalui metode qiyas yang disampaikan SAS menurut Khaled tidaklah relevan. Apabila cara qiyas yang diambil SAS menggunakan qiyas adna atau qiyas khafi (analogi ringan), di dalamnya tidak ditemukan kesamaan ‘illat (alasan pemberlakuan).
Juga apabila cara qiyas yang dilakukan oleh SAS tersebut dengan jalan qiyas maqashid (qiyas yang menitikberatkan pada kesamaan maksud) juga tidak ditemukan maksud yang sama. Akhirnya, Khaled berpendapat bahwa hadis ini tidak dapat dijadikan alasan sebagai dalil larangan menghormati lagu kebangsaan. Fatwa SAS karenanya keliru.
SAS telah menempatkan dirinya sebagai penafsir tunggal yang menurutnya hanya yang mereka sampaikanlah yang benar. Nalar yang dikembangkan yaitu nalar ekslusivitas. Ia juga telah menempatkan pahamnya di atas teks (al-Qur’an dan Sunnah) itu sendiri. Sehingga menyuruh agar setiap muslim turut ikut atas fatwa yang telah disampaikannya tersebut.
Inilah sikap otoritarianisme dalam beragama yang dimaksud Khaled Abou El Fadl. Sikap otoritarianisme atau otoriter tersebut maknanya menyatakan secara eksplisit maupun implisit bahwa jawaban yang diberikan didasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunnah atau tradisi hukum padahal dalam kenyataannya tidak.[2]
[1] Lihat Khaled Abou El Fdl, Melawan Tentara Tuhan; Yang berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam, 2003, Serambi, hlm. 67-68
[2] Ibid, hlm. 110