Perempuan yang seringkali diidentikan dengan kata cantik, lemah lembut, keibuan, dewasa, dan banyak kata indah lainnya. Meskipun kata-kata tersebut merupakan bagian kelompok gender dimana penulis maupun orang lain tidak dapat menyebut bahwa hal tersebut mutlak dan satu satunya yang menggambarkan arti kata perempuan itu sendiri.
Tidak banyak yang penulis baca mengenai perempuan, Penulis lebih sering melihat suatu fenomena di lingkungan sekitar. Yang selalu tersirat dalam pikiran ketika mendengar kata perempuan adalah mulia, hebat, sesuatu yang dipersamakan dengan sebuah anugerah, dan penulis adalah salah satunya, sebab penulis adalah perempuan.
Sementara itu, di era kemajuan teknologi media informasi menjadi sangat luas, menggantikan mata dan telinga kita untuk dapat memperoleh, memberikan hingga menghasilkan sesuatu secara tidak langsung. Bagi penulis pembahasan mengenai perempuan dan media ini amat menarik, karena pembahasan mengenai kekerasan berbasis online maupun perempuan di masa covid, tidak lain lahir dan dapat muncul di ruang-ruang media itu sendiri dengan subjeknya ialah perempuan.
Hubungan perempuan dan media hakikatnya adalah hubungan yang kompleks dan problematis. Pertama, dalam konteks zaman millenial, seperti ramalan Alfin Tofler, perempuan dalam ranah informasi yang berkembang pesat akibat kemajuan teknologi informasi, hanya menjadi objek pasif dari kepentingan nalar patriarki yang bekerja di belakang media masa. Kedua, perempuan dalam visualisasi media masa, hanyalah alat akumulasi modal berdasarkan streotipenya sebagai objek hasrat. Ketiga, perempuan dalam pemberitaan-pemberitaan media masa seringkali menjadi korban akibat reportase yang tidak berperspektif perempuan.
Di masa pandemi sekarang, media saat ini benar-benar telah menjadi ruang yang sangat hidup. Hampir seluruh kegiatan menggunakan media online. Secara otomatis aktivitas penggunaan media sosial sudah tentu meningkat dibandingkan dengan sebelumnya.
Yang menarik dari kaitannya antara perempuan dan media, yakni bagaimana kemudian perempuan memiliki peran baik secara langsung maupun tidak dengan media saat ini. Sehingga perlu dilakukan bagaimana perempuan dan media serta dalam media itu sendiri.
Perempuan dalam lensa media, dapat menjadi subjek atau pengguna media, dan juga bahkan dengan mudah sekaligus dijadikan objek. Akan ada dua kemungkinan di sini. Bagaimana kemudian jika sisi yang ditampilkan justru membuat perempuan semakin terbelakang, dan mengalami berbagai stigmatisasi bahkan marginalisasi karena posisinya sebagai perempuan.
Kemudian yang mendesak literasi perlu menyentuh berbagai aspek. Khususnya dalam menjadikan perempuan subjek maupun objek di media. Karena jika tidak demikian, maka sistem patriarki yang ada di masyarakat juga terjadi di media, yang menyebabkan sering terjadi candaan-candaan seksis dan misoginis terhadap perempuan.
Urgensi literasi yang ramah gender di media juga perlu digaungkan. Menyuarakan narasi-narasi pemberdayaan perempuan perlu menjadi gerakan kolektif dan kolaboratif antar komunitas saat ini. Dengan terus berjejaring. Hal ini sangat tampak beberapa tahun terakhir, gerakan-gerakan perempuan di Indonesia kembali saling merangkul dan berkolaborasi lagi.
Mengoptimalkan narasi-narasi yang ramah gender juga perlu. Salah satu cara untuk optimalisasi narasi ini adalah dengan menghadirkan perspektif perempuan pada setiap tulisan dan konten yang kita angkat. Agar konten di media tidak hanya bicara halal-haram, surga-neraka, dan perempuan sholihah saja. Akan tetapi bagaimana perempuan dan laki-laki saling berkolaborasi dan mengisi untuk menyuarakan keadilan dan kesetaran bagi seluruh umat manusia. Sehingga harmonisasi dapat diraih baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam media.
Oleh : Indah Fahira Ainun Nisa