Samar.ID — Menemukan oase dalam bidang kehidupan politik tidaklah gampang. Bidang kehidupan yang satu ini begitu kentara akan kepentingan yang sejujurnya mulia namun banyak disalahgunakan. Politik menjadi bidang yang sangat potensial akan terjadinya benturan ego, gengsi, hasrat berkuasa dan pada kondisi tertentu potensi terjadinya benturan fisik baik antarindividu maupun kelompok. Kita bisa merujuk pada peristiwa pengangkatan khalifah pertama pasca wafatnya Nabi Saw. Yaitu saat pengangkatan Khalifah Abu Bakar as-Shidiq.
Ketegangan yang terjadi di Tsaqifah Bani Saidah antara golongan Muhajirin yang diwakili Abu Bakar as-Shidiq dan Umar bin Khatab dengan kalangan Anshar terjadi dalam tensi yang sangat tinggi. Di lain pihak keluarga Nabi yang di sana terdapat Ali bin Abi Thalib merasa kecewa lantaran dua kubu yang awalnya bersebrangan tersebut terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing sedangkan jasad Nabi tidak menjadi, atau mungkin waktu itu sempat luput dari perhatian mereka. Ali tidak berbaiat kepada kekhalifahan Abu Bakar beberapa bulan lamanya sebelum akhirnya Ali dan keluarganya berbaiat kepadanya.
Beberapa tahun berikutnya, di mana kita dapat menempatkan peristiwa tersebut dalam konteks politik, ialah peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, Perang Unta (Perang Jamal) yang dipimpin janda rasul yaitu Siti Aisyah, perang Shiffin antara Khalifah Ali dan gubernur Damaskus Muawiyah bin Abi Sufyan, terbunuhnya Khalifah Ali, terbunuhnya cucu Nabi di padang Karbala dan sederet peristiwa lainnya. Peristiwa-peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa dalam lapangan politik baik individu ataupun kelompok sangat rawan untuk berkonflik.
Mampukah Menemukan Atau Membentuk Oase?
Meski begitu, bukan berarti harus kita tarik kesimpulan bahwa politik itu selamanya kotor dan identik dengan keburukan serta kekerasan. Karena dalam realitas sosiologis, bidang yang satu ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Terlalu banyak urusan dunia (al-umuru ad-dunyawiyah) atau muamalah yang harus diselesaikan lewat bidang politik. Pikiran dan imajinasi kita terlalu tergiring dalam makna politik yang tereduksi pada adagium “Di dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada ialah kepentingan yang abadi”. Sehingga makna politik jadi bias, sempit dan cenderung reduktif.
Justeru sebagai umat beragama, khususnya umat Islam, yang telah dibekali nilai-nilai religiusitas yang sumbernya langsung dari ilahi, kita dituntut agar mampu menemukan atau bahkan menciptakan sebuah oase dalam bidang politik ini. Pertanyaannya ialah apakah dalam politik yang sarat akan gesekan dan benturan tersebut kita akan mampu menemukan atau menciptakan sebuah oase yang menyejukkan? Atau memang bidang yang satu ini akan selamanya berhawa panas dan sulit dicari sumber ketenangannya?
Pemaknaan Politik
Haedar Nashir (2019) dalam bukunya Indonesia dan Keindonesiaan; Perspektif Sosiologis, mengatakan bahwa bidang politik sesungguhnya memiliki dimensi yang luas, meski yang paling menonjol dalam memaknai politik oleh sebagian besar kalangan ialah sesuatu yang berkaitan dengan perebutan posisi dalam sebuah pemerintahan. Dalam perjuangan kekuasaan (power struggle) itu Lasswell, sebagaimana yang dikutip Haedar, mengatakan politik ialah tentang “who gets what, when and how” artinya siapa mendapatkan apa, kapan waktunya dan bagaimana caranya.
Makna politik yang dikatakan Laswell di atas terlalu pragmatis dengan semata berorientasi pada kekuasaan praktis. Karena mungkin dewasa ini sebagian besar memang begitu realitas yang terjadi di lapangan. Akan tetapi, sejatinya bidang politik memiliki makna idealis juga positif sebagaimana yang disampaikan filsuf Yunani Plato dan Aristoteles.
Dalam buku Etika Politik Muhammadiyah, Roni Tabroni (2017) mengutip makna politik menurut Plato yang memaknainya sebagai bidang kehidupan yang agung dan mulia yang bertujuan untuk membentuk masyarakat yang utama (a perfect society). Sementara menurut Aristoteles, sebagaimana dikutip Roni, Politik merupakan sesuatu yang indah dan terhormat untuk mencapai “the best posibble system that could be reached” yaitu sistem yang memungkinkan yang dapat dicapai.
Adapun makna lain dari politik dan cukup familiar ialah “The art of posibble” yaitu seni tentang kemungkinan yang bisa diraih. Banyak makna lainnya secara yang telah didefinisikan para ahli yang sejujurnya tidak bisa digeneralisasi bahwa bidang politik hanya tertuju pada soal berebut kursi kekuasaan semata. Atau hanya sekedar membenarkan makna politik Machiavelli, di mana muara bidang politik ialah kekuasaan dengan apapun dan bagaimanapun caranya.
Panorama Politik Indonesia
Panorama politik di Indonesia dewasa ini dengan cermat dilukiskan oleh Haedar Nashir (2019) sebagai “Politik Padang Sahara” yang kering dari sukma agama, Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa. Karena politik di negeri kepulauan ini masih banyak diwarnai oleh praktek oligarki yaitu kekuasaan hanya dijalankan atau dipengaruhi oleh segelintir orang saja. Panorama politik di Indonesia juga kental dengan politik dinasti yang berpola patrimonialistik dan feodalistik.
Ketua Umum PP Muhammadiyah itu juga mencemaskan makin meluasnya liberalisasi politik yang bercorak transaksional dan orientasi pada kekuasaan saja. Sebuah realitas kontemporer yang seolah membenarkan apa yang dikatakan Laswell sebelumnya. Akibat dari panorama politik tersebut, lanjut Haedar, kehidupan kebangsaan telah kehilangan jiwa, rasa, etika dan kenegarawanan yang sangat penting bagi politik berkeadaban untuk membangun bangsa dan negara Indonesia.
Oase dalam Politik Sahara
Dalam panorama politik Padang Sahara tersebut tentu kehidupan politik membutuhkan suatu oase yang mampu meneduhkan jiwa dan pikiran dalam hidup berpolitik. Oase tersebut seperti yang telah disebutkan di atas ialah nilai-nilai agama atau ajaran agama, Pancasila dan nilai luhur bangsa Indonesia itu sendiri. Nilai-nilai agama, khususnya di dalam agama Islam terkandung banyak muatan yang sejatinya mampu menghilangkan panorama politik oligarki karena Islam menganjurkan agar pemimpin betul-betul dipilih berdasarkan musyawarah yang melibatkan banyak orang bukan segelintir orang.
Dalam ajaran Islam juga terkandung ajaran agar hendaknya seorang pemimpin memiliki kualifikasi sebagai pemimpin sebuah masyarakat. Seperti memiliki kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang kuat, adil, jujur, amanah dan cerdas. Hal inilah yang akan membendung munculnya politik dinasti. Dalam Islam juga terdapat visi dan misi sebuah negeri agar terbentuk sebuah negeri yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur” negeri yang baik dan indah serta di bawah rida dan ampunan Tuhan. Itulah ajaran yang bisa menjadi oase untuk mencegah politik transaksional dan orientasi kekuasaan semata.
Oase lainnya yaitu Pancasila dan nilai luhur bangsa yang apabila dijalankan secara murni dan konsekuen niscaya akan menciptakan suasana politik yang relatif lebih baik. Berdasarkan hal ini, bidang politik yang relatif keras, banyak gesekan dan benturan tersebut sangatlah memungkinkan berubah wajahnya. Meskipun relatif tidak mudah juga dalam mewujudkannya. Kita dapat menjadikan oase-oase di atas sebagai ikhtiar untuk mewujudkan kehidupan politik yang lebih bermutu, religius dan beradab.
Penulis : Rafi T. Haq