Sepeninggal Nabi Saw waktu itu muncullah sikap politik yang berbeda-beda. Menurut Hasanudin Abdurahkman dalam karyanya “Islam untuk Indonesia” sedikitnya ada 3 kelompok atau kubu yang berbeda sikap politik diantaranya kelompok Ali bin Abi Thalib, Kelompok Muhajirin (Umar bin Khatab dan Abu Bakar) serta Kelompok Anshar (Sa’ad bin Ubadah).

Ia menceritakan bagaimana Ali tidak mau taat pada Abu Bakar selama 6 bulan lamanya. karena ia merasa khalifah harus dijalankan oleh ahlul baitnya Nabi Saw. Walau begitu Ali nantinya tetap diangkat sebagai khalifah ke-4 setelah Utsman bin Affan dibunuh segerombolan pemberontak.

Tantangan umat Islam pada masa Ali sungguh berat, pasalnya terjadi perang Jamal (perang unta) antara kubu Ali dan Siti Aisyah, janda Rasul. Korban berjatuhan diantaranya Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah (Anggota Dewan pada masa Umar bin Khatab). Sungguh mengenaskan, gegara perbedaan sikap politik umat Islam gugur berdarah-darah.

Inilah realitas sejarah, di antara sahabatpun pernah bertengkar hebat. Dalam hal ini Islam bukanlah penyebabnya, karena hal tersebut murni perilaku politik biasa saja. Menurut Hasanudin inilah budaya sebelum Islam yang muncul kembali, yang membelah persatuan umat Islam.

Perkembangan berikutnya, tampuk kepemimpinan umat Islam beralih kepada sistem monarki (kerajaan) yang jumlahnya sangat banyak. Terakhir hingga zaman Turki Usmani yang runtuh pada 1924. Salah satu penyebabnya ialah karena dalam internal umat Islam sendiri terjadi fragmentasi dan saling berebut pengaruh di dunia Islam.

Bila kita membaca realitas historis bagaimana dinamika politik dalam dunia Islam sepeninggal Nabi, saya agak sedikit menaruh kesimpulan bahwa bidang politik inilah yang merenggut persatuan umat Islam hingga kini. Karena perebutan dan perbedaan sikap politik umat Islam tersebut kita jadi terbelah-belah dalam persaudaraan sesama umat Islam.

Kisah para aktor politik dan dinamika politik yang terjadi di tengah umat Islam menjadi bahan perhatian bahwasannya bidang politik ini merupakan bidang kehidupan yang harus ditekuni secara hati-hati. Pasalnya karena ekspresi politik yang berbeda-beda, tidak terhitung berapa banyak jumlah nyawa manusia yang hilang.

Perkembangan tersebut sangat kontras bila dibandingkan dengan zaman Nabi, di mana bidang politik berjalan dengan kualitas yang baik. Meski ada sedikit letupan dari Kaum Yahudi (Bani Qainuqa, Nadzir dan Quraidzah), namun umat Islam tetap dalam satu atap yang teduh. Kondisi tersebut bisa jadi karena Islam sebagai komunitas agama dan politik pada saat itu berada langsung di tangan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Sehingga keputusan-keputusan penting pada saat itu selalu dibimbing langsung oleh Allah Yang Maha Esa.

Berdasarkan Perkembangan bidang politik umat Islam sejauh ini bukan berarti kondisi politik pada saat Nabi tidak bisa terulang kembali. Kita perlu meniru semangat dan kebaikan Nabi dalam bidang politik tersebut. Asalkan kita meneladani Nabi dalam menjalani kehidupan politik, walau harus diakui bahwa kita tidak langsung dibimbing oleh Allah Swt, kehidupan politik akan berubah menjadi lebih baik.

Penyerapan perilaku dan sikap Nabi dalam politik oleh umat Islam kesimpulan sementara saya akan membawa umat Islam pada suasana politik profetik. Di mana hasrat untuk berpolitik tidak terjebak hanya untuk mencari pangkat dan jabatann, apalagi untuk menumpuk harta kekayaan.

Seperti diakui oleh mayoritas umat Islam, bahwa politik merupakan bidang kehidupan yang tidak elok bila ditinggalkan oleh umat Islam. Hanya karena banyak tragedi mengenaskan yang telah terjadi. Karenanya, saatnya kini umat Islam untuk kembali pada tatanan politik profetik yang konstruktif dan menyatukan.