Setiap manusia pasti memiliki masalah hidup yang berbeda-beda, ujian hidup yang berbeda-beda, dan tantangan hidup yang berbeda-beda. Tentu setiap manusia akan berbeda-beda dalam menghadapi dinamika kehidupan tersebut. Ada yang menghadapinya dengan penuh semangat dan kegembiraan, ada yang menghadapinya dengan tenang dan pasrah, dan ada pula yang menghadapinya dengan penuh penyesalan dan putus asa.
Terkadang dan banyak dari kita yang salah persepsi tentang dinamika kehidupan tersebut, salah satunya bagi orang yang pesimis, penuh dengan keluhan dan putus asa. Padahal Allah Swt telah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 286, yang berbunyi:
…لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. al-Baqarah : 286)
Ketika kita diberikan ujian oleh Allah, artinya Allah percaya kepada kita untuk menyelesaikannya. Kita harus yakin bahwa kita mampu menjalaninya. Kata Allah “Karena sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S. Al-Insyirah: 5-6)
Kita pasti tidak asing dengan kisah positive thinking keluarga Nabi Ibrahim yang harus meninggalkan istri dan anaknya, Siti Hajar dan Ismail di Kota Mekkah, dengan perbekalan yang cukup, tidak ada air, tidak ada tanaman, dan pastinya tidak ada manusia lainnya. Siti Hajar pun merasa heran dan terus bertanya kepada Nabi Ibrahim “kenapa harus meninggalkan kami?”. Tetapi Nabi Ibrahim tidak menanggapinya.
Sampai kepada pertanyaan yang terakhir “Apakah Allah yang memerintahkan kami untuk tinggal disini?”, barulah Nabi Ibrahim menjawab “Iya, Allah-lah yang memerintahkan saya untuk menempatkan engkau di sini”. Kemudian Siti Hajar berkata “Allah tidak akan menyia-nyiakan kita, silahkan engkau pergi, Ibrahim”.
Nabi Ibrahim pun pergi hanya menitipkan anak dan istrinya kepada Allah, sementara Siti Hajar pun hanya bergantung kepada Allah dan perbekalan seadanya dari Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim kemudian berdoa yang diabadikan dalam Surat Ibrahim ayat ke-37.
رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keurunanku di lembah yang tidak memiliki tanam-tanaman didekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan Shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Dalam do’a tersebut, permintaan Nabi Ibrahim yang pertama adalah apapun kondisinya, “Jangan sampai keluargaku meninggalkan salat”, ucap Nabi Ibrahim. Permintaan kedua adalah memohon orang-orang agar datang ketempat ini (Mekah), padahal sudah dipastikan tidak akan ada manusia yang mau datang ke tempat yang seperti itu, tapi Nabi Ibrahim berdoa dengan penuh optimis dan positive thinking.
Permintaan ketiga “berikanlah mereka rezeki dari buah-buahan”, padahal Nabi Ibrahim sendiri yang mengatakan bahwa ditempat itu tidak ada air dan tidak ada tanaman. Akan tetapi beliau tetap meminta dengan penuh husnudzan kepada Allah, dan yakin bahwa Allah akan mengabulkannya. Positive thinking selalu menghadirkan sifat optimis, tidak akan membuat kita kalah dengan kondisi yang ada.
Begitu pula dengan Siti Hajar, ketika ditinggalkan suaminya, ia tidak diam dan tidak pasrah, tetapi dirinya berusaha. Siti Hajar menempatkan anaknya, Ismail di samping ka’bah, kemudian Siti Hajar pergi ke Bukit Shofa, berharap ia menemukan orang yang lewat, adanya tanaman, atau melihat adanya air. Namun, ia tidak menemukan apapun.
Siti Hajar turun dari Bukit Shofa menuju Bukit Marwah dengan tujuan dan harapan yang sama, namun tetap tidak mendapatkan apapun juga. Ia kembali lagi ke Bukit Shofa, tidak mendapatkan apa-apa lagi, lalu kembali lagi ke Bukit Marwah. Ia lakukan hal itu berkali-kali hingga tujuh kali dan yang bisa kita kenal dengan sa’i.
Ketika sampai pada usaha yang ketujuh kalinya, ia kelelahan dan berhenti di Bukit Marwah. Shofa artinya suci, Marwah artinya cemerlang. Siti Hajar ketika sa’i, pergi ke bukit yang suci dan berakhir di bukit yang cemerlang, dan ia lakukan sebanyak tujuh kali, padahal dia yakin bahwa allah tidak akan menyia-nyiakan dirinya ditempatkan di mekkah. Kemudian Malaikat Jibril mengepakkan sayapnya persis di kaki Ismail yang sedang menangis. Di kaki Ismail keluar air. Turunlah Siti Hajar ke sumber air tadi, lalu ia mengumpulkan air tersebut.
Hikmah yang dapat kita ambil yaitu munculnya air zam-zam bukan di Bukit Shofa dan Bukit Marwah yang menjadi bentuk usaha daripada Siti Hajar, dan bukan pula di jalur Sa’I tempat berusaha Siti Hajar. Seringkali Allah memberikan hasil dari usaha kita, kita harus positive thingking, ditambah dengan doa, dilanjutkan dengan usaha, dan Allah seringkali memberikan hasil dari usaha kita, tidak dari tempat kita berusaha. Inilah yang Allah maksud dengan “wayarzuqhu min haitsu laa yahtasib” (Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka) (Q.S. at-Talaq ayat 2-3).
Oleh karena itu, kota Mekkah sering disebut dengan kota optimis, kota positive thinking. Kota yang awalnya kering, tidak ada air, tidak ada tanaman, dan apalagi manusia, tetapi dengan peristiwa itu, kita diajarkan tentang optimisme dan positive thinking. Optimis itu tidak berharga jika kita bisa membayangkan hasilnya. Tetapi ketika kita diberikan tekanan yang hebat, membuat kita seakan-akan tidak memiliki harapan, disitu nilai Optimis baru terasa.
Agar setiap hari kita memiliki jiwa optimis dan positive thinking, setidaknya ada do’a yang Rasulullah amalkan seiap paginya, yang berbunyi,
للّٰهُمَّ اِنِّى اَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَـمِّ وَالْحَزَنِ وَاَعُوْذُبِكَ مِنَ الْعَجْـِز وَاْلكَسَلِ .وَاَعُوْذُبِكَ مِنَ الْجُـبْنِ وَالْبُخْـلِ وَاَعُوْذُبِكَ مِنْ غَلَبَتِ الدَّيْنِ وَقَـهْرِ الرِّجَالِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesusahan, dan aku berlindung pada-Mu dari kelemahan dan sifat malas, dan aku berlindung pada-Mu dari sifat kikir dan pengecut, dan aku berlindung pada-Mu dari hutang yang tak mampu ditanggung serta kesewenangan orang yang tak mampu dilawan” (H.R. Abu Dawud)