Hampir semua insan di bumi pernah merasakan apa itu namanya jatuh cinta, baik bagi kalangan remaja maupun kalangan dewasa, cinta juga dikotomi menjadi cinta kepada keluarga atau cinta kepada lawan jenis. Semua orang berharap akhir dari mencintai keluarga adalah bisa melindungi atau bisa bertanggung jawab atas keluarga yang di cintainya, entah itu tanggung jawab membiayai keperluan orang tua nantinya ketika tua, dan semua berharap cinta kepada semua pasangan adalah cinta yang berakhir di pelaminan.  

Berdasarkan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 saja sudah menjelaskan arti dari perkawinan adalah ikatan lahir batin, itu tandanya perkawinan adalah suatu yang sakral dan tak bisa dibuat untuk main main.  Perkawinan adalah sebuah tanggung jawab dua orang untuk terus merawat cintanya sampai akhir hayat atau sampai tua tiba. Tetapi,  bagaimana jika perkawinan yang didambakan dua insan itu tidak berjalan dengan mulus atau bisa jadi tidak diimpikan sama sekali? 

Salah satu filsuf Yunani yang terkenal dan mati diracun, Socrates, pernah berbicara “bagaimanapun kondisimu menikahlah, karena jika kamu menikah mendapatkan wanita yang baik, kamu bahagia. Jika tidak maka jadilah filsuf” Titik tekan disini adalah mengobjekan perempuan sebagai kajian yang paling bermasalah dalam rumah tangga. 

Dewasa kini,  kita hampir setiap hari dilihatkan oleh media tentang rumah tangga artis-artis atau rumah tangga orang lain lewat informasi di media social. Tidak semua perempuan seperti itu mungkin yang dimaksud sokrates lebih jauh tadi adalah laki laki yang banyak menuntut perempuan harus serba bisa, baik pekerjaan domestik ataupun di luar itu. Sejatinya, esensi ikatan lahir batin adalah sebagaimana yang dibicarakan oleh mantan presiden ke-3 Indonesia yaitu Bacharudin Jusuf Habibie. Beliau dalam kutipannya pernah mengatakan bahwa dua insan itu harus satu frekeunsi dalam menjalankan perkawinan. Maka, rumah tangga akan di ikuti dengan saling pengertian atau sama sama bersyukur.

Kesabaran yang harus dipupuk dan siraman cinta yang harus terus dipakai untuk mempertahankan ikatan lahir batin. Sebenarnya, bagi laki laki pernikahan bisa dibilang sebagai kondisi berani mengambil tanggung jawab lebih, karena dalam budaya laki laki di Indonesia bagaimapaun laki laki harus bisa menafkahi istrinya beserta anaknya,  apapun pekerjannnya kelak.

 Perempuan harus bisa mengerjakan segalanya tentang urusan domestik agar kelak tak mengecewakan suami. Meskipun budaya ini terus di tinggalkan oleh masyarakat kota seiring adanya teori feminisme yang banyak disalah artikan oleh perempuan dewasa kini. Saya rasa bagi laki-laki yang menjadi filsuf karena perempuan tak bisa mengerti keinginannya adalah lelaki yang menyusahkann. Padahal, segalanya bisa saja diobrolkan. Turunkan gengsi dan mari bicaralah untuk dua insan dan dua kepala agar kehidupan ikatan lahir batin terus terjaga

Editor : Rafi

Penulis : Rausan Fikri ( Jomblo Revolusioner )