Kembali si Juki dirundung galau, kini prihal kisah cintanya yang tergolong tragis. Semua alur cerita percintaannya bagai sinetron televisi yang penuh luka-liku dan penderitaan. Kisah cinta pertamanya pada masa SMA bersama gadis manis Jelita yang juga jago main basket, nyatanya harus tandas ditengah jalan.
Juki diputuskan secara sepihak, pasalnya dia dianggap kurang perhatian dan seperti tidak serius selama menjalani hubungan dengan gadis primadona itu, Jelita. Butuh hampir satu semester untuk Juki bisa menghapus Jelita dari ingatannya, seberapa keras dia melupa, semakin kuat bayangan Jelita muncul. “Ngaji Juk baca Qur’an!” Saran si Herman satu waktu, tapi mau bagaimana “Ketika Cinta Bertasbih” wajah Jelita selalu menari-nari, diatas ayat-ayat yang dia baca.
Kisah cinta keduanya, masih satu sekolah. Setelah hampir satu semester move on dari Jelita, akhirnya dia mulai bisa membuka hati lagi untuk wanita lain, kini giliran Ica, anak kelas dua gadis berkaca mata, tak kalah cantik dari Jelita, siswi berprestasi penyabet juara pertama olimpiade kimia ini berhasil meluluh lantahkan hati Juki.
Tapi malang tak bisa dihindar, memang nasib si Juki. Ica dipindah sekolahkan oleh orang tuanya, dan hubangan merekapun harus berakhir tanpa kejelasan. Patah hati lagi, dan kini setelah dia lulus sekolah, seperti tidak pernah berkurang pesona si Juki, dia berhasil menyabet hati teman kerjanya, Dian. Hubungan mereka berjalan baik dan lancar, hingga bahkan bisa bertahan hampir tiga tahun.
Tapi akhirnya harus putus juga, diketahui Dian dilamar oleh seseorang dan menikah. Untuk kesekian kalinya si Juki patah hati, dan mungkin sudah sampai pada puncak patah hatinya hingga tampak berputus asa, pesimis untuk menjalin lagi hubungan dengan siapapun. Malam itu, tidak jauh dari rumah, di sisi sawah si Juki termenung sendiri.
Demas yang waktu itu kebetulan lewat menghampiri si Juki, duduk disebelahnya “Kenapa lagi Juk?”, “Biasa Mas, problem hati”. “Kenapa ya Mas, tiap kali aku suka, cinta sama cewek ujungnya selalu tragis?” Tanya si Juki pada Demas yang sedang menatap jauh pesawahan. Demas memang teman seangkatannya, tapi dia sudah lebih dulu menikah dan kini punya keluarga kecil bahagianya sendiri.
“Mungkin cintamu gak suci kali Juk!” Jawab Si Demas dengan masih menatap jauh pesawahan yang hitam ditelan gelap. “Hah maksudnya!?” si Juki bertanya heran, “Iya cintamu gak suci”, “Hust! Ngawur kamu, gimana maksudnya!?” si Demas yang merupakan teman dekatnya sejak kecil, sedikitnya dia tau sepak terjang perjalanan kisah cintanya si Juki.
“Gini ya Juk” lanjut Demas menerangkan, si Juki menatap serius. “Cinta itu seperti halnya shalat, dia tidak sah tanpa kesucian” si Juki cuman nganga mendengar penjelasan Demas, dia coba mencerna apa yang diucapan kawan kecilnya itu, perlahan dia mulai sadar dan mengerti apa yang ingin coba disampaikan si Demas padanya.
Dalam mencintai kadang kita menuntut berbagai hal yang menurut kita itu membahagiakan, tanpa kita pernah mempertimbangkan kebahagiaan itu dirasakan oleh siapa, apakah bersama atau hanya untuk sebelah pihak? Seperti si Juki yang hanya sampai pada tahap berani menyatakan, tapi untuk sampai tahap menyatukan? Selalu berakhir dengan ketidak jelasan.
Wajar saja, deretan nama perempuan yang pernah mengisi relung hatinya itu satu persatu berpamitan. Dia terus saja mempertanyakan apa dan mengapa, dia merasa telah serius dan maksimal menjalani hubungan dengan siapapun. Dia tidak mengerti, bahwa puncak keseriusan seorang laki-laki adalah kata “SAH” para saksi, saat dibimbing penghulu menjabat tangan walinya.
Seperti halnya shalat yang tidaklah sah tanpa kesucian, maka cinta juga begitu, sucikalnah ia dengan pernikahan. Pernikahan yang sah akan menciptakan jalinan cinta yang suci, bukan hanya akan diridhai manusia, tapi juga restu dan ridha Allah Sang Maha pemilik cinta.
Teringat penulis pada lagu alm. Uje “Setiap manusia punya rasa cinta yang harus dijaga kesuciannya” lagu yang mengamanati kita tentang keharusan menjaga cinta kita agar tetap suci. Jalin hubungan yang diridhai langit dan bumi, jangan omong kosongkan cinta hanya pada sebatas kata “Aku mencintaimu sampai mati” tapi tanpa pembuktian dan keberanian menjadikan cinta itu Sah, suci dunia akhirat.
Oleh : Kurniawan Aziz (Praktisi Mageran, Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Bandung)