Seorang filsuf besar bernama Aristoteles bertutur kata bahwa pada dasarnya manusia itu selalu menginginkan suatu kebahagiaan. Alasannya yaitu karena manusia selalu berusaha untuk melawan penderitaan-penderitaan di dalam hidupnya. Petuah itu hingga kini begitu membekas dan benar-benar terjadi. Tidak ada satupun manusia di bumi ini yang ingin menderita dalam hidupnya. Aku dan kamu juga ingin kebahagiaan, bukan?
Namun, apakah kita pernah merasakan kebahagiaan yang paling tinggi, bahagia sebahagia-bahagianya? Soal ini harus kita hayati lalu kita jawab. Kita khawatir Jangan-jangan kebahagiaan kita selama ini sifatnya adalah semu alias fatamorgana. Seperti melihat matahari dengan mata telanjang di siang bolong, di mana kita tidak tahu persis seperti apa permukaan matahari itu, apa warnanya dan seberapa jauh jaraknya. Malah membuat mata kita silau dan akhirya gelap sendiri.
Kebahagiaan tidak diukur dengan benda atau barang mewah. Karena pemilik barang mewah dan mereka yang hartanya melimpah ruah, kadang kebingungan juga untuk mengurus benda dan harta tersebut. Bukankah kebingungan itu merupakan suatu masalah. Sedangkan masalah adalah sesuatu yang tidak diinginkan oleh setiap orang. Jika kebahagiaan adalah keinginan manusia maka segala sesuatu yang tidak diinginkan manusia tentulah tidak membahagiakan. Sampai di sini jelaslah bahwa benda atau barang mewah bukanlah parameter kebahagiaan.
Lantas kebahagiaan itu ada di tangan dan pada diri siapa? Seorang sufi –sufi merupakan sebutan bagi ahli tasawuf bukan singkatan “suka film”– mengatakan bahwa kebahagiaan paling tinggi itu adalah Tuhan. Benarkah? Guru ngaji saya di kampung halaman pernah mengatakan bahwa di surga nanti ada orang yang masuk surga tapi ia merasa kurang afdol. Siapakah dia? Yaitu orang-orang yang walaupun di surga tapi tidak bisa melihat Tuhan.
Jika demikian, yang paling bahagia setinggi-tingginya berarti orang-orang terbaik yang ditempatkan di taman surga plus bisa melihat wujud Tuhan. Tak salah bila para sufi selalu mengatakan bahwa kebahagiaan tertinggi itu adalah Tuhan. Aristoteles dan para filsuf pun mengatakan hal yang sama. Sebab itu, jika diri kita hendak dilindungi dan diliputi kebahagiaan maka kuncinya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dekati tuhan pada saat senang bukan hanya pada saat banyak masalah saja. Kita terlalu terbiasa melupakan Tuhan di saat hati diliputi rasa senang yang bisa jadi itu hanya kesenangan temporal (baca : sementara). Kehidupan kita telah dijamin oleh-Nya, selayaknya sedetik ini mulailah untuk mensyukuri nikmat dan menjadi abdan syakuura yaitu menjadi hamba yang pandai bersyukur kepada-Nya.
Melalui tulisan ini mari kita bermuhasabah terutama untuk diri kita sendiri. Dan sekaligus mengajak juga kepada pembaca untuk sejenak mengingat kehadirat Ilahi Rabbi yang tidak pernah luput dari memberikan kepada kita kasih dan sayang-Nya. Mari menuju kebahagiaan yang sebenar-benarnya yaitu dengan cara taqarrub ilallah, mendekatkan diri kepada Allah. Karena Ber-Tuhan harus tetap bertahan di jalan yang diridai-Nya.