Pernah gak sih kamu memberikan sebuah pujian kepada seseorang sehingga membuatnya senang, bahagia dan terbang melayang dalam kebanggaan-kebanggan? Atau mungkin kamu pernah memberikan semangat dan motivasi kepada seseorang yang sedang insecure dan putus asa, yang karena motivasimu itu, meningkatkan kadar ke-pd-an nya? Lalu kamu merasa benar karena telah melakukan itu …?
Hati-hati! mungkin kamu gak benar-benar sedang menyelamatkan hidupnya, justru kamu malah membuatnya jatuh pada air ombak lembut berupa pujian dan kata-kata manis, padahal sebenarnya kamu justru menenggelamkannya dalam keputus asaan yang lebih dalam. Kok bisa?
Kadang tidak semua kata-kata baik dan positif itu memberikan dampak yang baik juga, justru ada perkataan positif yang memberikan dampak yang negatif, hal ini bisa terjadi jika kamu mengatakan hal positif pada seseorang pada waktu dan tempat yang kurang tepat.
Seperti saat temanmu mengalami kejadian yang membuat kesal hatinya seumpama diputuskan pacar, mendapat nilai yang tidak memuaskan saat ulangan, atau saat temanmu kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya, kemudian tiba-tiba kamu datang dengan niat baik mengatakan “Sabar ya” atau “Semangat ya”, perkataan yang positif ini malah akan membuatnya semakin rendah diri, kecil dan bukan alih-alih menenangkan dirinya justru malah menambah beban pikirinnya, yang akhirnya dia bertambah kesal, itulah yang disebut dengan toxic positivity.
Ketika kita mengatakan kepada orang lain sebuah pesan yang menyenangkan sehingga membuat lebih dari setengah masalahnya hilang, seperti “udahlaah ga usah terlalu serius, santuy aja santuuy” atau “mau belajar gak belajar, toh bukannya kesuksesan mah sudah digariskan? bawa slow”. itulah toxic positivity.
Dulu saya juga begitu, menjadi orang jahat dengan terus memberikan orang lain pujian, datang dihadapan orang-orang yang memiliki segudang masalah bagai malaikat yang membawa cawan, kemudian menyirami ketandusan mereka dengan air sejuk dari sungai harapan. Ketika ada teman yang curhat kepada saya mengenai kesulitannya dalam belajar dan ketakutannya akan ujian minggu depan, saya akan mengatakan “udahlah, santai, dosennya baik ini, pasti pertanyaannya gampang-gampang”.
Di kasus lain, ketika si Apeng bertanya kepada saya “gimana penampilan gue bro? bagus gak? keren belum?” saya hanya akan mengatakan “bagus bro, udah keren” dengan mengacungkan jempol kepalsuan, yang sebenarnya pada saat itu jujur saya tidak begitu suka gayanya, terlalu berlebihan, norak. Tapi karena saya tidak suka mengomentari sesuatu, apalagi mengenai fashion seseorang, dan yaa mungkin saya juga tidak mau menyakiti perasaannya dengan komentar yang buruk, yups! saya rasa satu acungan jempol akan membuatnya percaya diri dan bahagia.
Saya pikir dengan mengatakan hal-hal semacam itu maka semua masalah akan selesai pada saat itu juga, tidak! justru saya telah membawa dia kedalam jurang keputusasaan dan penyesalan yang sebenarnya. Mungkin niat saya baik saat itu, berharap bisa membuat kawan saya tenang dan tidak stres menghadapi ujian. tapi apa yang terjadi, saya telah membuatnya menjadi terlalu ge’er, menerbangkannya pada imajinasi harapan yang yaa … semuanya hanya ketidak pastian, atau bahkan kepalsuan.
Karena terlalu pede menghadapi apa yang akan terjadi, sehingga menurunkan kuantitas usahanya dan menambah porsi kemalesannya dalam belajar. mengerikan, jahat. Dan begitupun si Apeng, mengencani kekasihnya dengan gaya yang rentan dengan hinaan dan tertawaan banyak orang. Dan mungkin akan membuat malu kekasihnya. Ya ampuun, saya harap dia tidak ditampar si Riska (pacarnya) waktu itu.
Semua pujian manis bagai madu itu yang kita kira positif dan akan membuat orang lain membaik, kini telah berubah menjadi racun yang begitu berbahaya, yang bisa melumpuhkan dan atau bahkan membuat orang lain terbunuh. Memuji itu baik dan ya tidak ada salahnya, tapi waktu dan kondisi yang kadang membuatnya menjadi salah kaprah, madu menjadi racun.
Oleh : Kurniawan Aziz
Editor: Rafi