Islam itu menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Tak terkecuali pemahasan tentang hubungan dengan sesama manusia. Segala hal telah diatur dalam Islam, mulai dari pembahasan ekonomi, politik, hingga urusan dapur rumah tangga semuanya diatur. Karenanya tak salah jika Islam disebut sebagai agama yang syumul yakni sempurna dan menyeluruh. Di dalam Islam segala sesuatu telah diberi rambu-rambu hukum, baik secara jelas maupun secara tersirat. Dalam permasalahan yang sifatnya telah tersurat atau jelas disebutkan maka tidak akan ada celah dalam menentukan hukum yang lain. Tetepi jika secara tersirat maka tak jarang sebagian dari kita yang mencari celah untuk mengamankan kepentingan hawa nafsunya.
Dalam urusan muamalah bagi kalangan remaja muslim tak jarang ditemukan kasus yang berkaitan dengan hubungan dengan lawan jenis. Hal tersebut sebenarnya wajar dan normal sebab dimasa tersebutlah gejolak peralihan dari fase anak-anak menuju fase dewasa dimulai. Ketertarikan dengan lawan jenis mulai muncul di masa ini. Jika melarang ketertarikan tersebut maka kita sama dengan melawan fitrah manusia. Jika dibiarkan tanpa aturan yang jelas maka akibat fatal dapat terjadi. Menghadapi permasalahan tersebut, maka sikap terbaik sebagai seorang muslim ialah bersikap adil, dimana tidak serta merta melarang dan tidak seenaknya membiarkan.
Istilah yang biasa digunakan dalam permasalahan diatas ialah pacaran. Wacana hukum pacaran di Indonesia khususnya jika hanya memanfaatkan sumber hukumnya dari lembaga-lembaga muslim mainstream seperti NU melaui Bahtsul Masailnya dan Muhammadiyah melalui Majelis Tarjihnya mungkin tidak ditemukan. Tetapi dari penjelasan salah satu Sesepuh lembaga tersebut cukup untuk mewakili arah pemikiran hukumnya.
Sebut saja Prof. Yunahar Ilyas allahuyarham salah satu Sesepuh Majelis Tarjih Muhammadiyah beliau dengan tegas menjelaskan menganai pertanyaan tentang hukum pacaran dengan menyebutkan definisi. Penjelasan beliau dengan salah satu artikel penulis[1] tidak jauh berbeda, dimana beliau menjelaskan apa yang dimaksud pengertian pacaran tersebut ada yang terlarang dan ada yang tidak bermasalah.
Penjelasan beliau tentang pacaran mengarahkan kepada istilah ta’aruf. Beliau menjelaskan bahwa jika yang dimaksud dengan pacaran adalah seseorang ingin mengenal lawan jenis yang orientasinya untuk menikah dengan tidak berlama-lama tetap mengindahkan protokol syariat maka hal tersebut tidak dipermasalahkan. Tetapi jika apa yang dimaksud dengan pacaran sebagai bentuk bersenang-senang dengan lawan jenis tanpa orientasi pernikahan dan berlansung lama, maka tidak ada izin hal tersebut untuk dilakukan.
Selanjutnya beliau pun menyebutkan dengan tegas berdasarkan apa yang banyak terjadi dikalangan para pemuda saat ini dimana banyak memanfaatkan aktivitas pacaran hanya sekedar untuk bersenang-senang. Berlama-lama menjalin hubungan antar lawan jenis hanya sebagai pemuas dahaga syahwatnya sehingga berpeluang menghadirkan bisikan syetan yang dapat menjerumuskan kedalam lembah yang nista. Inilah yang ditakutkan tenang tema besar tentang pacaran.
Jika kita tetap kekeuh untuk menganggap pacaran tidak memiliki hukum yang pasti (halal atau haram) maka kita juga harus sepakat tentang larangan berlama-lama berdua-duaan dengan lawan jenis atau ber-khalwat. Kita pun juga tetap harus sepakat bahwa aktivitas zina adalah sebuah perbuatan dosa dan haram untuk dilakukan. Hukum-hukum yang sifatnya masih samar atau tersirat seperti ini jangan sampai dijadikan topeng untuk menutupi kesenangan hawa nafsu kita.
Terakhir perlu diingat dan kita renungi bersama, ukuran baik-buruk dan halal-haram dalam syariat itu bukan maunya kita, tetapi maunya Allah. Jika dalam ketentuan-ketentuan tersebut melanggar hukum Allah maka tidak bisa tidak itu akan berakibat buruk bagi kita. Kita sebagai hamba Allah tugasnya hanya mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah Allah tunjukkan. Jika mengikuti ketentuan-Nya maka keselamatan ada di tangan kita, jika sebaliknya maka kesengsaraan tak bisa kita tolak pasti menyapa. Wallahu’alam.
[1] https://shofianra.wordpress.com/2020/01/28/re-distorsi-makna-yang-mencoba-menjadi-deviasi-baru-makna-problematis-pacaran/