Yang di maksud ulama, Sebagaimana dinyatakan Quraish Shihab adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah SWT, baik yang bersifat kauniyah (fenomena alam) maupun qur’aniyah (mengenai kandungan al-Quran). Pendapat ahli tafsir kontemporer Indonesia ini diinduksi dari dua ayat al-Quran yang masing-masing menyebut kata ulama, yakni Faatir [35] ayat 28 dan asy-Syura [26] ayat 197.
Pada masa al-Khullafa’ ar-Rasyidun tidak ada pemisahan antara orang yang memiliki pengetahuan agama, ilmu pengetahuan kealaman, dan pemimpin politik praktis. Baru pada masa Bani Umayyah dan sesudahnya, tepatnya sejak abad ke-2 H/ke-8 M, istilah ulama lebih di tekankan kepada orang yang memiliki pengetahuan keagamaan. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersemit lagi. Misalnya, ahli Fikih di sebut Fukaha dan ahli Tafsir disebut Mufasir.
Sebagai Rem
Rem mobil berfungsi untuk memperpelan atau menghentikan lajunya, baik karena ada lampu merah, berada di persampingan, nyaris menabrak orang, sampai di tempat tujuan, dan sebagainya. Demikian pula ulama berfungsi sebagai rem, ia dapat memperpelan atau menghentikan laju masyarakat, bangsa, negara, atau siapapun yang tidak atau kurang sesuai dengan ajaran agama. Ulama dapat berfungsi sebagai rem, karena ia lebih memahami ajaran agama dan mengetahui keadaan dan kebaikan untuk umatnya.
M. Quraish Shihab pernah mengatakan bahwa setidaknya terdapat empat peran dipikul di pundak para ulama, yaitu meliputi tabligh, tabayyun, tahkim, dan uswah. Melalui tablıgh, ulama menyampaikan makna Islam, mengajarkan inti agama, dan memberikan pendidikan Islam kepada masyarakat. Dengan tabayyun, ulama menafsirkan atau menjelaskan Alquran, mendefinisikan dan mengajarkan alhadits kepada masyarakat.
Para ulama juga merupakan benteng yang berfungsi melindungi kemurnian dan kesucian Agama Islam. Dalam hal ini peran konkrit yang dapat dimainkan para ulama dan da’i adalah menolak dan membantah berbagai syubhat yang dilemparkan kalangan yang hendak merusak Islam melalui penyebaran paham menyimpang. Peran ini memiliki kedudukan yang sama dengan jihad (perang) dengan senjata.
Karena pada hakikatnya jihad memperjuangan Islam dapat ditempuh dengan dua hal, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah. Yaitu bis saifi was Sinan (jihad dengan pedang) dan bi hujjati wal bayan (argumen dan penjelasan). Yang disebut pertama dijalankan oleh tentara (askariyyun), dan yang kedua dijalankan oleh para Ulama dan Du’at. Bahkan sebelum disyariatkannya jihad bersenjata, jihad dengan hujjah dan bayan disebut oleh Allah sebagai jihad yang besar (jihadan kabiran), sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam surah Al-Furqan ayat 52.
Banyaknya ulama yang menyebarkan ilmu, nasehat, dan tadzkirah di tengah-tengah masyarakat dapat mengurangi penyebaran berbagai penyakit sosial dan kerusakan akhlaq di tengah-tengah masyarakat tersebut. Karena ilmu menghilangkan kejahilan, sementara kejahilan merupakan sumber berbagai penyimpangan. Dengan kehadiran mereka Dien benar-benar hadir sebagai pembimbing dan suluh bagi jiwa-jiwa yang buta terhadap bashirah dan hidayah Allah.
Jika ulama memainkan peran strategis ini maka insya Allah berbagai penyakit ssosial yang mewabah di tengah masyarakat dapat diatasi. Berbagai kerusakan yang muncul akibat perilaku menyimpang semisal miras, narkoba, zina, sogok menyogok, dan sebagainya dapat dihilangkan atau diminimalisir. Sungguh benar dan tepat ungkapan Ulama Tabi’in Hasan al-Bashri rahimahullah (w.110 H), “Laulal ‘Ulamaa a’ Lashaaran Naas Kal Bahaa im; Andai bukan karena adanya para Ulama manusia akan Berperilaku seperti binatang”.
Sebagai Gas
Berbeda dengan rem, gas pada mobil atau bis berfungsi untuk menggerakan atau mempercepat laju kendaraan itu. Demikian pula ulama yang berfungsi sebagai gas, ia dapat menggerakkan atau menambah laju masyarakat, bangsa, negara, atau siapa pun untuk berjalan maju pada jalur yang sesuai ajaran agama. Ulama dapat berfungsi sebagai gas, karena lazimnya ia adalah orang yang berpendidikan, berpikiran luas, dapat membedakan kebenaran dengan kebatilan, berwibawa, dan selalu memikirkan kemaslahatan umatnya.
Resolusi jihad yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Munculnya resolusi jihad pada 22 oktober 1945 erat kaitannya dengan kedatangan pasukan sekutu (Inggris) ke Indonesia yang tujuan awalnya adalah melucuti senjata tentara Jepang yang kalah dalam Perang Dunia II dan memulangkan mereka ke Negara asal mereka yaitu Jepang.
Namun, ternyata pasukan sekutu yang dalam hal ini adalah pasukan AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) secara diam-diam membawa pasukan NICA (Belanda), maka timbullah rasa curiga dan tidak percaya pada pasukan sekutu, karena memang NICA atau Belanda masih mempunyai keinginan untuk berkuasa kembali di Indonesia.
Resolusi yang diserukan langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari berisi perintah untuk berjuang mempertahankan tegaknya Republik Indonesia yang sifatnya jihad fi sabilillah serta mempunyai hukumnya fardhu ‘ain atau wajib bagi setiap orang Islam di Indonesia. Hal tersebut memiliki dampak yang sangat luar biasa, terlihat dari penguatan kembali laskar Hizbullah yang dibentuk pada zaman Jepang dan pembentukan laskar militer seperti laskar Sabilillah. Selain itu, para kyai dan ulama kemudian mengirimkan para santrinya untuk bergabung dengan laskar militer seperti Hizbullah dan Sabilillah untuk ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Guna mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia maka para ulama bersama para santrinya ikut angkat senjata dalam organisasi kemiliteran, baik dalam laskar Hizbullah, Sabilillah, bersama BKR, TKR, TRI dan TNI selama perang kemerdekaan 1945-1950, melawan tentara sekutu Inggris dan NICA. Banyak dari para ulama menjadi tokoh sentral baik dalam kepemimpinan laskar militer ataupun sebagai penggerak santri atau masyarakat untuk ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kiprah ulama, santri dan tokoh-tokoh Islam dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia begitu panjang, nama mereka telah tercatat dengan tinta emas sebagai seorang syuhada.
Kesimpulan
Ulama’ adalah pembina atau pengembala umat, apakah jadinya suatu kelompok masyarakat tidak ada pengendalinya, tidak ada manusia-manusia yang berfungsi dan berkedudukan sebagai pembimbing dan pemberi peringatan, memang ulama’ harus terjun dalam semua aspek kehidupan. Yaitu menjadi masalah adalah apakah ulama’ mampu dan berfungsi di tengah-tengah kebutaan masyarakat terhadap ilmu-ilmu agama.
Sebagai Rem yang dapat Mencegah terhadap setiap perilaku yang mengarah kepada kemungkaran, sebab mencegah pada sesuatu dari suatu pekerjaan barangkali memungkinkan lebih mudah dibandingkan dengan mengobati dan menyembuhkan terhadap orang-orang yang sering melakukan suatu perbuatan yang munkar.
Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, para ulama menjadi tokoh sentral kepemimpinan sekaligus gas penggerak santri atau masyarakat untuk turut berjuang. Mereka membentuk laskar-laskar rakyat untuk mendapat pelatihan militer dan memanggul senjata.Di bawah seruan para ulama, terbentuklah laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah, Sabilillah, dan Mujahidin. Masing-masing dari mereka memegang peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan.
Penulis : M. Fariz Affissi (Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Bandung)