Beberapa waktu terakhir kita dihebohkan dengan kasus pernikahan yang cukup mengguncang para agamawan. Nikah beda agama kembali menjadi perbincangan hangat, terkhusus bagi kalangan muslimin nikah beda agama menjadi fenomena yang cukup mengacaukan tatanan yang sudah dijaga para ulama. Diawali oleh salah seorang yang mengaku muslim dan dengan santainya menyampaikan dalam akun facebooknya bahwa yang bersangkutan sudah melangsungkan proses pernikahan pasangan yang berbeda agama dengan jumlah yang tidak sedikit. Kemudian yang terakhir praktik tersebut dilakukan langsung oleh Staf Khusus orang nomor satu negeri ini yang notabenenya seorang muslimah berhijab.

Dalam arus utama muslimin Indonesia yang bisa kita sebut diwakili oleh MUI sebenarnya sudah terlampir fatwa yang menyatakan “haram dan tidak sah” sesuai dengan qaul mu’tamad pada nikah beda agama. Namun sayangnya fatwa MUI tersebut tak dijadikan panduan, ia lebih memilih pendapat yang tidak populer dan cenderung melanggar batasan syariat. Berbagai ulama-ulama besar masa lalu (salaufushalih) yang menjadi rujukan utama muslimin ditentangnya dan lebih memilih fatwa tokoh-tokoh masa kini yang pandangnya dan penerapan syariat dalam kehidupannya juga dipertanyakan.

Jika kita cerna dengan hati nurani, sebagai seorang muslim yang baik kita tentu akan merasa tidak nyaman dengan cara pandang agama lain terhadap konsep kebahagiaannya masing-masing. Setiap agama memiliki konsep dan cara untuk mencapai kebahagiaan masing-masing dan dengan konsep tersebut otomatis menolak konsep kebahagiaan yang lainnya. Mudahnya, jika agama A untuk mencapai surga ia harus mengimani apa yang ada dalam agama A dan juga mengingkari iman terhadap agama B, C, D atau yang lainnya. Kemudian otomatis agama B, C, D atau yang lainnya selain agama A tidak akan selamat mencapai surga.

Mari kita bayangkan jika dalam satu bahtera rumah tangga cara pandang kebahagiaannya berbeda karena beda agama, apakah kebahagiaan bersama dalam bahtera tersebut dapat terwujud dan atau bertahan lama? Si istri yang agama A otomatis mengingkari konsep kebahagiaan suami yang agamanya B. Apakah rela jika istri menyaksikan suaminya tidak selamat di kehidupan pasca dunia? Jika rela dan tidak mempermasalahkan, maka apa yang mereka sebut sebagai “cinta” sebagai alasan untuk bersatu dalam kehidupan rumah tangga tersebut sesungguhnya hanya sekedar cinta palsu. Cinta palsu yang tidak tulus untuk saling bersama dalam kebahagiaan di kehidupan pasca dunia. Cinta yang hanya manis diawal dan akan terasa pahit diakhirnya. Cinta sejati yang sesungguhnya ialah mereka tidak akan rela pasangannya celaka baik di dunia maupun di alam pasca dunia.

Menikah beda agama adalah pilihan yang sulit untuk diterima oleh hati nurani. Melakukannya adalah otomatis menerima untuk mendapat kecaman dan rasa tidak nyaman. Tak perlu terlalu berkutat pada hati nurani melululah, kejadian perceraian antar pasangan sesama agama saja di negeri ini trennya masih cukup tinggi. Apalagi nanti jika tren nikah beda agama meningkat, maka dapat dipastikan angka perceraian juga otomatis meningkat pula.

Bagi muslim, sesuai dengan apa yang di fatwa oleh MUI maka pernikahannya adalah batal dan tidak sah. Konsekuensinya ialah apa yang dilakukan bukanlah pernikahan yang diterima dan jika melakukan hubungan jatuhnya menjadi zina. Maka apakah nyaman jika kenyataanya seperti itu? Dapatkah mampu mencapai kebahagiaan jika dalam praktiknya banyak terjadi ketidaknyamanan. Karenanya penting untuk kita renungkan kembali terkhusus bagi keluarga muslim dan terkhususnya lagi bagi muslim yang memiliki niatan atau sedang berproses mambangun hubungan dengan lawan jenis yang berbeda keyakinan. Apakah kita tidak ingat firman Allah yang memerintahkan kita untuk saling menjaga baik diri maupun keluarga dari siksa api neraka (QS. At-Tahrim: 6)?