Samar.ID – Umat manusia sudah sejak lama menghuni bumi ini. Tidak bisa ditebak kapan pastinya bumi yang kita pijak ini pertama kalinya diinjak nenek moyang kita, Nabi Adam As. Namun, yang jelas bumi ini sudah tua renta jika menghitung angka. Hal ini bisa kita lihat dari semakin banyaknya kerusakan dan bencana alam yang telah terjadi.

Kerusakan bumi ini tidaklah terlepas dari segala tindak laku manusia yang kadang serakah demia sebuah keuntungan. Serakah dalam mengeruk sumber daya alam yang ada. Padahal kapasitas perut yang Allah ciptakan untuk manusia sangatlah kecil. Namun, orang serakah tidak akan pernah sedikitpun teringat perut orang lain yang sedang kelaparan.

Kekayaan yang ia kumpulkan akibat keserakahannya itu akhirnya berbuah kesombongan. Beda dengan kekayaan yang diperoleh dari cara dan jalan yang baik. Kekayaannya pasti tidak akan menjadi monster yang menjerumuskannya ke dalam keburukan. Tapi ia akan menggunakannya di jalan Allah Swt.

Maka dari itu, hendaknya manusia tidak berlebihan dan bersikap sombong, baik oleh hartanya, ilmunya ataupun kedudukannya yang lebih tinggi dari orang lain di masyarakat. Sebab kesombongan itu adalah salah satu sumber malapetakan itu sendiri bagi manusia.

Sejatinya manusia tidak punya apapun untuk disombongkan. Karena manusia punya banyak kelemahan yang sudah melekat sejak lahir kedua ini. Manusia punya sisi kelemahannya masing-masing. Sedangkan Allah Swt maha sempurna dari segi apapun. Maka yang berhak untuk menyombongkan diri hanyalah Dia. Sebab tidak ada sedikitpun kekurangan pada dzat-Nya.

Tuhan sangat membenci orang yang suka menyombongkan diri di dunia. Pada masa Nabi Muhammad Saw, orang-orang jahiliyah selalu membanggakan diri baik dengan harta, anak, gembalaan atau kedudukannya di tengah masyarakat.

Salah satu bentuk kesombongan mereka ialah meminum khomer (tuak). Tuak adalah simbol kesombongan yang menandakan bahwa uangnya berlimpah dan dihabiskan dengan jalan membeli tuak. Meminum khomer dan bermain dengan wanita adalah cara orang-orang jahiliyah menghabiskan uang. Sehingga Nabi sangat mengecam kebiasaan ini.

Sebaliknya, Allah Swt sangat menyayangi hambanya yang rendah hati. Al-Qur’an menyebut beberapa ciri-ciri hamba yang disayangi (ibadurrahman) oleh Tuhannya. Salah satu cirinya ialah apabila berjalan di atas muka bumi, maka ia berjalan dengan rendah hati. Tidak menyombongkan atau membanggakan diri.

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

Bacaan latin: Wa ‘ibādur-raḥmānillażīna yamsyụna ‘alal-arḍi haunaw wa iżā khāṭabahumul-jāhilụna qālụ salāmā

Artinya: “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam,” (QS. Al Furqan: 63)

Inilah hakikatnya seorang yang beragama, khususnya di dalam agama Islam. Sebab tidak ada agama yang mengajarkan kesombongan. Karena hakikatnya di dalam kesombongan itu tidak ada sama sekali sebutir kebaikanpun. Sebaliknya, setiap agama menganjurkan kepada hambanya agar senantiasa bersikap rendah hati kapanpun dan di manapun ia berada.

Penulis : Rafi T. Haq