Di dalam penelitiannya di Kotagede Yogyakarta sekitar tahun 70-an, Mitsuo Nakamura, peneliti Muhammadiyah asal Jepang, mendapati bahwa konsep rezeki bagi kalangan abangan (orang Islam yang tidak begitu mendalami Islam) ialah bermakna suatu ‘untung’ atau ‘nasib baik’ atau ‘sesuatu yang didapat secara kebetulan’.

Sementara bagi kalangan santri-Muhammadiyah, rezeki berarti ‘penghidupan’ atau lebih spesifik lagi ialah ‘kebutuhan sehari-hari’. makna rezeki dalam bahasa Jawa lebih mendekat pada arti terakhir yaitu rezeki sebagai penghidupan atau kebutuhan yang senantiasa harus terpenuhi.

Perbedaan pemahaman tersebut sangat berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari. Menurut pemahaman orang-orang Muhammadiyah, setiap orang yang tulus percaya kepada Tuhan, menjalankan kewajiban agama dan berprilaku sesuai dengan apa yang diperintahkan, niscaya rezeki (penghidupannya) akan dijamin dan terjamin. Sehingga seorang mukmin tidak perlu khawatir dan takut lagi soal rezeki.

Pemahaman ini yang membedakannya dengan kaum abangan. Karena rezeki itu hanya dipandang soal ‘keberuntungan’ atau ‘sesuatu yang tak terduga datang’ semata, maka mereka ketika beribadah dengan taat atau tidak akan sama saja.

Di sinilah perbedaannya, di kalangan yang satu (santri) rezeki bisa mendorong seseorag untuk lebih dekat lagi kepada Tuhan, sementara di lain pihak konsep rezeki tidak berpengaruh apa-apa terhadap kedekatannya dengan Tuhan. Mindset santri dan abangan seperti ini yang pada waktu dulu bisa dengan jelas terlihat. Sehingga dulu mungkin masih relevan trikotomi yang disampaikan Cliffort Geertz tentang ka santri, priyayi dan abangan dalam realitas sosiologis msyarakat di Indonesia.

Selanjutnya, konsep rezeki terbagi dalam tiga aspek di lingkungan pemahaman Muhammadiyah. Pertama, menurut orang-orang Muhammadiyah persoalan hidup dan kehidupan sehari-hari ialah ditempatkan sebagai anugerah Tuhan. Persoalan kehidupan sehari-hari termasuk mencari sesuap nasi berarti tergolong pada persoalan agama yang juga merupakan suatu kewajiban yang sama seperti ibadah mahdah seperti salat, puasa, zakat dan lain-lain.

Kedua, konsep rezeki jika diterapkan pada bidang ekonomi, sejak awal berarti menolak pendapatan yang sangat berlebihan. Dengan kata lain aktivitas ekonomi ialah sesuatu yang secukupnya sekadar untuk melanjutkan hidup. Kehidupan yang sederhana dipandang sebagai tingkat kehidupan yang pantas bagi orang-orang yang mukmin.

Ketiga, aspek rezeki dalam ajaran Muhammadiyah menentukan semacam individualisme di dalam aktivitas ekonomi. Masing-maing individu dipandang sebagai pelaku iman dan pengabdian yang menjadi sasaran penilaian Tuhan.

Aspek ketiga ini hemat penulis nampaknya mirip dengan spirit ekonomi dalam etika umat protestan, seperti ditulis Max Weber, di mana sikap mencari rezeki dipandang sebagai pegabdian kepada Tuhan. Maka tak aneh ada pihak yang dengan berani menyebut Muhammadiyah sebagai ‘Islam Protestan’ karena dalam titik-titik tertentu terdapat kesamaan ajaran.

Atas dasar konsep rezeki seperti ini, orang-orang Muhammadiyah berusaha menghindari ketergantungan ekonomi kepada orang lain. Konsep rezeki seperti ini sangat berharga bagi perkembangan orang-orang Muhammadiyah berikutnya sehingga mereka bisa mandiri dalam mengembangkan lembaga pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial lainnya.

Sementara pada kalangan abangan, mereka menggantungkan kebutuhan pada majikan sehingga terkesan kurangnya sikap kemandirian. Perlahan kaum abangan tersebut pada fase berikutnya banyak yang berubah menjadi kalangan santri lewat suatu proses yang sering disebut sebagai santrinisasi sejak tahun 80-an.

Di kalangan para pimpinan Muhammadiyah, mereka biasanya menunjukkan sikap hidup yang sederhana dan tidak berlebih lebihan dalam mengekspresikan kekayaan yang dimilikinya. Sikap seperti inilah yang telah ditunjukkan KH. Ahmad Dahlan. Bahkan beliau rela melelang barang-barang dan perabotan rumahnya untuk menggaji guru-guru sekolah.

Sikap sederhana dan secukupnya tersebut banyak ditiru para penerusnya seperti Buya Hamka, A.R. Fachrudin, Buya Syafii Maarif dan yang lainnya. Konsep rezeki seperti ini yang harus dilanjutkan oleh orang-orang Muhammadiyah kini di tengah dunia yang serba pragmatis seperti sekarang.